Rumah Sakit Raga
Tubuhku menggelinjang kesakitan. Pukulan demi pukulan terus datang menghantam.dag! satu kepalan lagi menhajar mata kiriku. Wajahku habis didominasi lebam. Lenganku luka di kiri dan kanan. Sayatan demi sayatan berulang kali mencoba membuatku kehilangan kesadaran. Beberapa kali gelas kaca menghantam kepalaku. Aku mengejang. Meregang. Menunggu proses terindah hingga akhirnya aku pulang. Pulang ke tempat aku dan tanah di hidupkan pada satu kediaman. Entah jika ternyata ternyata Tuhan menghendaki tentang reinkarnasi. Tapi sore ini aku berharap untuk cepat pulang. Istirahat panjang dengan tenang. Ah sayang, Izrail tenyata belum ingin datang. Kesempatannya mengambil alih kendali hidupku sore ini direbut paksa oleh dua pria berjubah putih yang hampir ku sebut malaikat.
“Beri suntikan penenang! Lalu ikat dia di ranjang. Biar nanti ketika sadarkan diri, dia tidak melukai dirinya lagi”
Akhirnya kami tertidur. Ditidurkan zat entah apa yang akan membuat dia lupa tentang penyakit gilanya yang hobi menyakitiku. Dalam seminggu bisa tiga kali aku merasakan yang seperti ini, dia memukuliku, menyayat habis lengan-lenganku, lalu berusaha mengakhiri si aku dengan berbagai cara. Digantung, disayat, diracun bahkan disetrum pun aku pernah. Pengalaman proses menuju mati rata-rata orang bunuh diri pernah aku alami. Sayangnya, dia kurang ahli memanggil Izrail datang. Dia terlalu menganggap kalau bunuh diri kendali manusiawi, dan lalu lupa kalau ajal tetap kuasa si maha segala.
Sambil di obati oleh perempuan setengah tua, aku menikmati tubuhku yang ditidurkan terlentang di atas ranjang putih berselimut garis biru. Luka sayat di tangan kiri terasa sangat nyeri ketika perempuan yang sedang mengobatiku itu membalurkannya dengan obat luka. Belum lagi rasa ngilu yang hebat ketika memar di sekujur tubuhku dibungkus dengan kain dingin. Aku menangis. Menangis dalam tidur kami yang dijaga ketat oleh beberapa tali pengikat. Menikmati bagaimana setiap tarikan nafasku adalah sensasi nyeri luar biasa pada setiap titik luka.
Darahku perlahan mengalirkan ketenangan ke seluruh tubuh. Dari kejauhan terdengar suara dua laki-laki mengusik pembaringanku. Itu Rama, ayah kami. Dia keluarga yang paling peduli dengan kondisi kami. Menjenguk kami adalah kewajiban menepati pada janjinya dengan diri sendiri. Ketika ibu bunuh diri karena depresi setelah mendapati dia sedang memperkosa kami, dengan tidak sadar dia telah mengirim kami kesini. Mengirim kami pada tempat diri-diri yang terpisahkan. Terpisahkan menjadi dua: jiwa dan raga. Karena setelah ibu pergi, sang jiwa hilang kendali. Dia selalu merasa bersalah telah gagal menjaga kehormatan kami. Lebih lagi gagal menjaga ibu. Walau ia sangat tau kalau kematian adalah kuasa utuh Tuhan, tetap saja kematian ibu membuat dia seperti kerasukan dan terpaksa membawa kami ke duplikasi neraka ini. Rumah sakit jiwa.
“sampai kapan dia akan terus seperti ini, dok?”
“sampai terapinya berhasil. Menyatukan dua pribadi pada dirinya sehingga kesadaran dirinya kembali utuh”
“berapa lama?”
“tergantung pasiennya, biasanya ini membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya. Mengingatkan dia perlahan pada kehidupan-kehidupannya sebelum pribadinya menjadi dua. Tapi jangan sampai mengingatkan dia pada peristiwa-peristiwa pahit sepanjang hidupnya. Yang seperti itu malah akan memperlama proses”
Apa yang dikatakan penyerupa malaikat berjubah putih itu mengingatkanku pada beberapa bulan yang lalu. Ketika ibu masih ada dan keperawanan kami belum direnggut Rama. Ketika itu kami masih berdamai dalam satu diri utuh. Sang jiwa masih selalu mengajakku berbahagia. Memanjakan aku dengan perlakuan istimewa. Kebersihan yang terjaga, perawatan dengan banyak biaya, sampai olah-raga agar aku tidak menjadi onggokan daging berlemak ekstra. Tidak seperti sekarang. Gila telah membuat Jiwa memperlakukan aku seperti binatang. Padahal kami masih satu diri, hanya saja kini aku dan jiwa dipisahkan kesadaran. Jiwa tak pernah lagi sadar kalau yang dia kebiri setiap hari adalah aku, raganya sendiri.
Sekarang aku sendirian. Ditemani remang lampu kamar anggrek delapan. Di sudut kiri ruangan ini terpampang manis pigura cokelat tua membingkai serentet kata yang mereka anggap sebagai (mungkin) motivasi. “Keluarga memberikan dukungan, Kami memberikan harapan”. Aku tertawa geli membacanya. Apa? Harapan? Dukungan? Memangnya sejak kapan ada keluarga dari pasien sakit jiwa yang gigih memberikan dukungan. Orang gila seperti kami sangat lebih banyak yang dicampakan. Dan sangat banyak juga yang akhirnya membahagiakan diri sendiri di jalanan. Bertelanjang di trotoar, menangis histeris di jembatan penyebrangan, marah-marah di lampu merah, atau bahkan asik menelan dedaunan karena kelaparan. Dukungan? Hahahaha. Bahkan Rama yang rutin menjenguk kami, tak pernah sekalipun menyentuh tubuh kami. Wajar. Kami beberapa minggu tidak mau mandi. Orang waras terlalu suci. Dan.. harapan? Aku semakin geli membaca yang satu ini. Harapan dari sebuah rumah sakit jiwa yang pasiennya membludak hingga angka ribu. Harapan apa? Harapan untuk kami mati perlahan? Karena perhatian yang mereka curahkan hanya sebatas kewajiban pekerjaan. Ya, sedikit dorongan kemanusiaan. Tapi sedikit. Jumlah pekerja rumah sakit jiwa tak pernah cukup untuk membuat kami semua terjaga setiap detiknya. Kewalahan hanya membuat mereka tertuntut pekerjaan. Ujung-ujungnya aku yang jadi korban. Diperlakukan seperti daging buangan.
Terkadang aku menuntut keadilan pada diri sendiri. Kenapa. Kenapa ketika sang jiwa gila, aku yang menjadi korban utama. Diperlakukan semena-mena seperti tak pernah berguna. Tak mandi berhari-hari, dipukuli diri sendiri, makan benda apapun yang ditemui, hey! Aku sakit. Aku bukan sebadan binatang yang tak terlalu butuh diperhatikan. Aku butuh makan, aku butuh sehat, aku butuh bersih, aku butuh diperlakukan selayaknya tubuh. Selazimnya manusia memperlakukan raganya. Lihat aku! Lihat. Tubuhku penuh luka sayat yang kulakukan dengan tanganku sendiri, wajahku habis lebam mengungu karena pukulan keras kepalanku sendiri, dan badanku, badanku habis digrogoti nanah dan darah hasil perilaku diriku sendiri yang tak peduli soal kebersihan diri.
Kepalaku berputar. Memikirkan banyak hal ternyata membuat lebam biru di keningku terasa ngilu. Aku menghela nafas. Sebentar lagi pagi, sebentar lagi sang jiwa kembali dari mimpi. Sebelum matahari mengganas panas, aku akan kembali diperlakukan buas. Hanya tinggal menunggu Jiwa sadar akan kembalinya dia ke dunia nyata. Melihat sekitaran, memastikan dia adalah tersangka atas kematian ibu dan keperawanan yang tak terselamatkan, lalu habislah aku dikebiri tanpa belas kasihan. Tali pengikat ini sangat kuat, tapi kemampuan Jiwa membuatku sakit lebih kuat. Dia selalu punya cara agar kami mendapat jalan menuju kematian. Seperti pagi ini, Jiwa sudah kembali pada diri kami. Dan perjalan menuju mati pagi ini dia lakukan dengan memutuskan lidahku dengan gigi kami. Tak butuh melepaskan diri dari tali pengikat. Mulut kami tak dijaga apa-apa, mudah saja bagi dia melakukan penyiksaan dengan memisahkan indera perasa dari kepalanya. Ini sakit. aku menjerit. Sakit! ini benar-benar sakit.
Jiwa menggerakkan kepala kami. Leher dan bawah kepala kami sudah becek dengan darah yang terus mengalir . Lidah kami tak juga berhenti mengeluarkan darah. Ah! perih. Perih! Mata kami membelalak, diiringi tawa sang Jiwa yang sangat puas dengan hasil kerjanya menyiksaku pagi ini. Aku pasrah. Sambil sesekali jiwa masih terus menggerakan kepalanya. Mencari jalan lain lagi untuk mati. Ayo jiwa, mati! Matilah! Pulanglah pada tempat kamu harus kembali. Ayo lekas temukan cara hebat untuk kita cepat mati pagi ini. Sebelum dokter dan para perawat menemukan kita dalam keadaan mengenaskan seperti ini, dan kita kembali ke ruang perawatan lalu menjalani hari lagi esok lusa. Ayo cepat buat kita mati! Dan pulanglah kamu pada kediaman Tuhan. Tempat Illahi menjanjikan kehidupan setelah ini. Ayo kita mati! Biarkan aku pulang pada liang. Menyatu dengan tanah dan tak lagi disiksa seperti ini. Ayo jiwa! Ayo buat kita mati!
Kami terus menggerak-gerakan kepala. Jiwa sepeti sudah menemukan cara hebat untuk mati kami. Tubuh kami tetap terikat. Kami mendekatkan kepala kami pada besi sisi ranjang tempat kami diikat dan ditidurkan. Mata melirik ke sekitaran. Memastikan hanya ada kami pada ruang beberapa meter persegi ini. Dan,
Braakkk!!
Kepala kami menghantam besi ranjang rumah sakit. Rasanya seperti tengkorak depan kami sudah menjadi serpih tulang berlapis kulit yang robek. Darah bercucuran. Kepalaku berputar. Tetesan darah meluncur deras semakin membuat sprei kasur kami berlumur dengan darah. Mengalir melewati mata yang tak lagi sanggup membuka. Alirannya mengalir perlahan dipelipis kiriku. Kami tak sadarkan diri.
“Dok, Pasien perempuan di kamar anggrek delapan mencoba bunuh diri lagi. Lidahnya putus dan kepalanya bocor!”
Terdengar hiruk pikuk orang-orang panik di sekitarku. aku terdiam, tergeletak tanpa daya. Si Jiwa melayang, terbang meninggalkan aku yang sedang di dorong tergesa-gesa oleh beberapa manusia berkostum putih. Jiwa tersenyum, bibir tipis dan kulit putih kami membuat senyumnya sangat indah untuk dilihat. Dia melambaikan tangan. Menangis sambil mengusap pipiku pelan. Berbisik lirih ditelingaku ”terima kasih untuk dua puluh tahun ini, Raga. Aku pulang..”
Pulanglah Jiwa. Bahagialah di rumah terakhirmu. Nikmati keindahan surga dan segala isinya. Tuhan terlalu maha tau, Jiwa. Akan keadlilan setimpal untuk kita, Rama, dan ibu.
Kain putih menutupi sekujur aku. Akan menjadi luar biasa ketika aku menikmati setiap detik perjalanan pulangku. Menuju tanah. Rumah.
Jiwa, Sampaikan salamku untuk ibu.
------------------------------ tamat
Ranjang
Kepada ranjang tempat ragaku akan dibaringkan,
Ku titipkan kepadamu tulang belulang
Lapisan kulit putih berseri hasil kerja bayaran juta perawatan
Sematkan pada salah satu liang, biarkan dia berbaring tenang
Kepada ranjang tempat ragaku akan dibaringkan,
Ini untuk kalian!
Bahan makanan untuk belatung kelaparan
Nutrisi tambahan untuk tanah tersuburkan
Rumah baru untuk cacing bersarang nyaman
Ranjang cokelat bertancap nisan
Tercoret namaku sebagai pemilik pembaringan
Hentak detik Izrail datang
Kewajiban mati aku tunaikan
Menggelinjang
Mengejang
Meregang
Pulang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar