17 Oktober 2011

Rumah Sakit Raga


Rumah Sakit Raga


Tubuhku menggelinjang kesakitan. Pukulan demi pukulan terus datang menghantam.dag! satu kepalan lagi menhajar mata kiriku. Wajahku habis didominasi lebam. Lenganku luka di kiri dan kanan. Sayatan demi sayatan berulang kali mencoba membuatku kehilangan kesadaran. Beberapa kali gelas kaca menghantam kepalaku. Aku mengejang. Meregang. Menunggu proses terindah hingga akhirnya aku pulang. Pulang ke tempat aku dan tanah di hidupkan pada satu kediaman.  Entah jika ternyata ternyata Tuhan menghendaki tentang reinkarnasi. Tapi sore ini aku berharap untuk cepat pulang. Istirahat panjang dengan tenang. Ah sayang, Izrail tenyata belum ingin datang. Kesempatannya mengambil alih kendali hidupku sore ini direbut paksa oleh dua pria berjubah putih yang hampir ku sebut malaikat.

“Beri suntikan penenang! Lalu ikat dia di ranjang. Biar nanti ketika sadarkan diri, dia tidak melukai dirinya lagi”

Akhirnya kami tertidur. Ditidurkan zat entah apa yang akan membuat dia lupa tentang penyakit gilanya yang hobi menyakitiku. Dalam seminggu bisa tiga kali aku merasakan yang seperti ini, dia memukuliku, menyayat habis lengan-lenganku, lalu berusaha mengakhiri si aku dengan berbagai cara. Digantung, disayat, diracun bahkan disetrum pun aku pernah. Pengalaman proses menuju mati rata-rata orang bunuh diri pernah aku alami. Sayangnya, dia kurang ahli memanggil Izrail datang. Dia terlalu menganggap kalau bunuh diri kendali manusiawi, dan lalu lupa kalau ajal tetap kuasa si maha segala.

Sambil di obati oleh perempuan setengah tua, aku menikmati tubuhku yang ditidurkan terlentang di atas ranjang putih berselimut garis biru. Luka sayat di tangan kiri terasa sangat nyeri ketika perempuan yang sedang mengobatiku itu membalurkannya dengan obat luka. Belum lagi rasa ngilu yang hebat ketika memar di sekujur tubuhku dibungkus dengan kain dingin.  Aku menangis. Menangis dalam tidur kami yang dijaga ketat oleh beberapa tali pengikat.  Menikmati bagaimana setiap tarikan nafasku adalah sensasi nyeri luar biasa pada setiap titik luka.

Darahku perlahan mengalirkan ketenangan ke seluruh tubuh. Dari kejauhan terdengar suara dua laki-laki mengusik pembaringanku.  Itu Rama, ayah kami. Dia keluarga yang paling peduli dengan kondisi kami. Menjenguk kami adalah kewajiban menepati pada janjinya dengan diri sendiri. Ketika ibu bunuh diri karena depresi setelah  mendapati dia sedang memperkosa kami, dengan tidak sadar dia telah mengirim kami kesini. Mengirim kami pada tempat diri-diri yang terpisahkan. Terpisahkan menjadi dua: jiwa dan raga. Karena setelah ibu pergi, sang jiwa hilang kendali. Dia selalu merasa bersalah telah gagal menjaga kehormatan kami. Lebih lagi gagal menjaga ibu. Walau ia sangat tau kalau kematian adalah kuasa utuh Tuhan, tetap saja kematian ibu membuat dia seperti kerasukan dan terpaksa membawa kami ke duplikasi neraka ini. Rumah sakit jiwa.

“sampai kapan dia akan terus seperti ini, dok?”
“sampai terapinya berhasil. Menyatukan dua pribadi pada dirinya sehingga kesadaran dirinya kembali utuh”
“berapa lama?”
“tergantung pasiennya, biasanya ini membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya. Mengingatkan dia perlahan pada kehidupan-kehidupannya sebelum pribadinya menjadi dua. Tapi jangan sampai mengingatkan dia pada peristiwa-peristiwa pahit sepanjang hidupnya. Yang seperti itu malah akan memperlama proses”

Apa yang dikatakan penyerupa malaikat berjubah putih itu mengingatkanku pada beberapa bulan yang lalu. Ketika ibu masih ada dan keperawanan kami belum direnggut Rama. Ketika itu kami  masih berdamai dalam satu diri utuh. Sang jiwa masih selalu mengajakku berbahagia. Memanjakan aku dengan perlakuan istimewa. Kebersihan yang terjaga, perawatan dengan banyak biaya, sampai olah-raga agar aku tidak menjadi onggokan daging berlemak ekstra. Tidak seperti sekarang. Gila telah membuat Jiwa memperlakukan aku seperti binatang. Padahal kami masih satu diri, hanya saja kini aku dan jiwa dipisahkan kesadaran. Jiwa tak pernah lagi sadar kalau yang dia kebiri setiap hari adalah aku, raganya sendiri.

Sekarang aku sendirian. Ditemani remang lampu kamar anggrek delapan. Di sudut kiri ruangan ini terpampang manis pigura cokelat tua membingkai serentet kata yang mereka anggap sebagai (mungkin) motivasi. “Keluarga memberikan dukungan, Kami memberikan harapan”. Aku tertawa geli membacanya. Apa? Harapan? Dukungan? Memangnya sejak kapan ada keluarga dari pasien sakit jiwa yang gigih memberikan dukungan. Orang gila seperti kami sangat lebih banyak yang dicampakan. Dan sangat banyak juga yang akhirnya membahagiakan diri sendiri di jalanan. Bertelanjang di trotoar, menangis histeris di jembatan penyebrangan, marah-marah di lampu merah, atau bahkan asik menelan dedaunan karena kelaparan. Dukungan? Hahahaha. Bahkan Rama yang rutin menjenguk kami, tak pernah sekalipun menyentuh tubuh kami. Wajar. Kami beberapa minggu tidak mau mandi. Orang waras terlalu suci. Dan.. harapan? Aku semakin geli membaca  yang satu ini. Harapan dari sebuah rumah sakit jiwa yang pasiennya membludak hingga angka ribu. Harapan apa? Harapan untuk kami mati perlahan? Karena perhatian yang mereka curahkan hanya sebatas kewajiban pekerjaan. Ya, sedikit dorongan kemanusiaan. Tapi sedikit. Jumlah pekerja rumah sakit jiwa tak pernah cukup untuk membuat kami semua terjaga setiap detiknya. Kewalahan hanya membuat mereka tertuntut pekerjaan. Ujung-ujungnya aku yang jadi korban. Diperlakukan seperti  daging buangan.

Terkadang aku menuntut keadilan pada diri sendiri. Kenapa. Kenapa ketika sang jiwa gila, aku yang menjadi korban utama. Diperlakukan semena-mena seperti tak pernah berguna. Tak mandi berhari-hari, dipukuli diri sendiri, makan benda apapun yang ditemui, hey! Aku sakit. Aku bukan sebadan binatang yang tak terlalu butuh diperhatikan. Aku butuh makan, aku butuh sehat, aku butuh bersih, aku butuh diperlakukan selayaknya tubuh. Selazimnya manusia memperlakukan raganya. Lihat aku! Lihat. Tubuhku penuh luka sayat yang kulakukan dengan tanganku sendiri, wajahku habis lebam mengungu karena pukulan keras kepalanku sendiri, dan badanku, badanku habis digrogoti nanah dan darah hasil perilaku diriku sendiri yang tak peduli soal kebersihan diri.

Kepalaku berputar. Memikirkan banyak hal ternyata membuat lebam biru di keningku terasa ngilu. Aku menghela nafas. Sebentar lagi pagi, sebentar lagi sang jiwa kembali dari mimpi. Sebelum matahari mengganas panas, aku akan kembali diperlakukan buas. Hanya tinggal menunggu Jiwa sadar akan kembalinya dia ke dunia nyata. Melihat sekitaran, memastikan dia adalah tersangka atas kematian ibu dan keperawanan yang tak terselamatkan, lalu habislah aku dikebiri tanpa belas kasihan. Tali pengikat ini sangat kuat, tapi kemampuan Jiwa membuatku sakit lebih kuat. Dia selalu punya cara agar kami mendapat jalan menuju kematian. Seperti pagi ini, Jiwa sudah kembali pada diri kami. Dan perjalan menuju mati pagi ini dia lakukan dengan memutuskan lidahku dengan gigi kami. Tak butuh melepaskan diri dari tali pengikat. Mulut kami tak dijaga apa-apa, mudah saja bagi dia melakukan penyiksaan dengan memisahkan indera perasa dari kepalanya. Ini sakit. aku menjerit. Sakit! ini benar-benar sakit.

Jiwa menggerakkan kepala kami. Leher dan bawah kepala kami  sudah becek  dengan  darah yang terus mengalir . Lidah kami tak juga berhenti mengeluarkan darah. Ah! perih. Perih! Mata kami membelalak, diiringi tawa sang Jiwa yang sangat puas dengan hasil kerjanya menyiksaku pagi ini. Aku pasrah. Sambil sesekali jiwa masih terus menggerakan kepalanya. Mencari jalan lain lagi untuk mati. Ayo jiwa, mati! Matilah! Pulanglah pada tempat kamu harus kembali. Ayo lekas temukan cara hebat untuk kita cepat mati pagi ini. Sebelum dokter dan para perawat menemukan kita dalam keadaan mengenaskan seperti ini, dan kita kembali ke ruang perawatan lalu menjalani hari lagi esok lusa. Ayo cepat buat kita mati! Dan pulanglah kamu pada kediaman Tuhan. Tempat Illahi menjanjikan kehidupan setelah ini. Ayo kita mati! Biarkan aku pulang pada liang. Menyatu dengan tanah dan tak lagi disiksa seperti ini. Ayo jiwa! Ayo buat kita mati!

Kami terus menggerak-gerakan kepala. Jiwa sepeti sudah menemukan cara hebat untuk mati kami.  Tubuh kami tetap terikat. Kami mendekatkan kepala kami pada besi sisi ranjang tempat kami diikat dan ditidurkan. Mata melirik ke sekitaran. Memastikan hanya ada kami pada ruang beberapa meter persegi ini. Dan,

Braakkk!!

Kepala kami menghantam besi ranjang rumah sakit. Rasanya seperti tengkorak depan kami sudah menjadi serpih tulang berlapis kulit yang robek. Darah bercucuran. Kepalaku berputar. Tetesan darah meluncur deras semakin membuat  sprei kasur kami berlumur dengan darah. Mengalir melewati mata yang tak lagi sanggup membuka. Alirannya mengalir perlahan dipelipis kiriku. Kami tak sadarkan diri.

“Dok, Pasien perempuan di kamar anggrek delapan mencoba bunuh diri lagi. Lidahnya putus dan kepalanya bocor!”

Terdengar hiruk pikuk orang-orang panik di sekitarku. aku terdiam, tergeletak tanpa daya. Si Jiwa melayang, terbang meninggalkan aku yang sedang di dorong tergesa-gesa oleh beberapa manusia berkostum putih. Jiwa tersenyum, bibir tipis dan kulit putih kami membuat senyumnya sangat indah untuk dilihat. Dia melambaikan tangan. Menangis sambil mengusap pipiku pelan. Berbisik lirih ditelingaku ”terima kasih untuk dua puluh tahun ini, Raga. Aku pulang..”

Pulanglah Jiwa. Bahagialah di rumah terakhirmu. Nikmati keindahan surga dan segala isinya. Tuhan terlalu maha tau, Jiwa. Akan keadlilan setimpal untuk kita, Rama, dan ibu.

Kain putih menutupi sekujur aku. Akan menjadi luar biasa ketika aku menikmati setiap detik perjalanan pulangku. Menuju tanah. Rumah.

Jiwa, Sampaikan salamku untuk ibu.


 ------------------------------ tamat




Ranjang

Kepada ranjang tempat ragaku akan dibaringkan,
Ku titipkan kepadamu tulang belulang
Lapisan kulit putih berseri hasil kerja bayaran juta perawatan
Sematkan pada salah satu liang, biarkan dia berbaring tenang

Kepada ranjang tempat ragaku akan dibaringkan,
Ini untuk kalian!
Bahan makanan untuk belatung kelaparan
Nutrisi tambahan untuk tanah tersuburkan
Rumah baru untuk cacing bersarang nyaman

Ranjang cokelat bertancap nisan
Tercoret namaku sebagai pemilik pembaringan
Hentak detik Izrail datang
Kewajiban mati aku tunaikan

Menggelinjang
Mengejang
Meregang
Pulang...

by Pungky Prayitno on Friday, December 24, 2010 at 10:08pm

Aku Tak Buta


Created by nanang_grande

Pic by Ladrina Bagan  
Seonggok daging, dan atau beronggok-onggok daging,,

Hmmm, mungkin membayangkan apa yang dihadapannya itu menjadi menu keseharian Bayu. Mungkin terbesit, itu adalah menu keseharian untuk dimakan. Namun Bukan, bukan itu maksudku.
Kali ini Bayu sejenak menatap, menghela nafasnya untuk sekedar menatap jari-jari tangannya yang memucat putih.

"Siapa Aku, dulu?dulu, Aku siapa? Bukan siapa-siapa, dulu"

Lalu, Bayu membungkukkan badannya untuk mengambil pisau yang Ia simpan di rak paling bawah. Telapak tangannya Ia rekatkan pada meja yang ada dihadapannya. Ia tentunya hanya bisa tersenyum melihat beberapa orang yang sedang asik ngobrol, sembari menikmati makanan hasil masakannya.

Iya betul, sekarang Bayu telah memiliki restoran. Dengan beberapa anak buah yang hampir semuanya berasal dari kampungnya.

Sayu-sayu Bayu memandangi wanita berbaju rapi yang sedang menikmati makanannya.
"Sepertinya Aku kenal", gumam Bayu dalam hati.
Bayu kembali meletakkan pisau ke dalam rak, "Mbok, ini tolong!!", Bayu memberikan piring yang hendak Ia sajikan.
Bayu memberanikan melangkah mendekati wanita itu.

"Amel, Kau kah itu?!?",Kontan Bayu mengagetkan wanita yang masih menyisakan makanan yang ada dipiringnya itu.
"Hah?!! Mas Bayu?!!",,,

Seperti hendak berdiri menyambut Bayu, Amel mengepalkan kedua tangannya dihadapannya. Ia tertunduk, lama tak berselang seperti suara isak tangis.

"Udah, Mel. Habiskan dulu makanannya, ya udah aku balik ke belakang lagi yha!!", pamit Bayu berlalu meninggalkan Amel yang masih tertunduk seperti malu, seperti telah menyesali sesuatu.
Bayu pun seperti enggan meninggalkan wanita yang pernah ada dihatinya itu, namun Ia tak ingin terjadi sesuatu nantinya yang membuat pengunjung lainnya justru jadi terganggu. Sejak kejadian di Lubuk Linggau itu, Bayu tak pernah tahu dan memang tak ingin tahu lagi kabar Amel.

Bayu terus melangkah, menuju ruangan kecil yang biasa Ia sebut sebagai ruang tempat Ia mengontrol pekerjaannya sebagai pemilik restoran. Bayu memejamkan matanya, sesekali membuka matanya hanya sekedar memastika apa yang baru saja terjadi.

ketika kau tak sanggup melangkah
hilang arah dalam kesendirian
tiada mentari bagai malam yang kelam
tiada tempat untuk berlabuh

bertahan terus berharap
Allah selalu di sisimu

(Maher zein feat fadly~insyaallah)

Bayu menyisingkan lengan kirinya. Masih teringat, ketika Ia memutuskan sehidup semati dengan Amel, guratan pisau yang masih membekas di pangkal lengannya, di balik lengannya pun masih membekas beberapa luka sewaktu Amel hilang akal menyerangnya dengan sebuah pisau. Tiada yang salah, hanya keadaan yang memang membuat mereka akhirnya berpisah.

Tak lama kemudian,,  "Tokk, tokk"
salah satu pekerjanya mengetuk pintu
"Pak, ada cewe yang ingin ketemu, beugh cantiknya, Pak. Mau jadi istri kedua ya?? Hehe", canda Anto, sembari mempersilahkan wanita itu masuk ke ruangan Bayu.

"Maafin Amel, Mas. Mas Bayu ngga dendam sama Amel kan?!", pinta Amel yang masih berdiri di samping pintu yang masih terbuka itu.
"Masuk aja, Mel. Atau kita ke taman aja, Mel. Ngga enak diliat yang lain kalo matamu masih merah gitu. ", ajak Bayu yang seketika itu langsung menutup lengan bajunya mengajak Amel ke taman.

"Wah sekarang Mas Bayu sukses yha! Udah punya restoran sendiri. Istrinya gimana kabar, Mas? Anaknya udah berapa?", tanya Amel yang sebegitu tidak sabarnya ingin tahu keadaan keluarga Bayu.

"Baik, mereka lagi dirumah. Paling bentar lagi aku pulang kok", jawab Bayu yang sepertinya tak ingin cerita begitu banyak.

"Mas bahagia?!!", lanjut Amel, memotong jawaban Bayu.

"Udah lah, Mel. Biarkan aku tenang, Iya aku bahagia"

"Apakah dia lebih cantik dari Aku??"

"Udah lah mel!!", potong Bayu yang seketika itu menghentikan langkahnya menatap tajam Amel.

Tiba-tiba Amel menghentakkan tubuhnya memeluk Bayu. Kontan Bayu langsung menyingkirkan tangan Amel yang tengah memeluknya dengan erat itu.

"Lepaskan!!! Lepas, Mel!!!, AKU TIDAK BUTA, Mel !!!", tegas Bayu sembari menangkis pelukan tangan Amel.

"Itu dulu, Mel. bukan salahku Aku meninggalkanmu. Kau yang memutuskan sendiri memilih Rifki yang menurutmu cinta sejatimu itu. Sekarang biarkan aku bahagia. Jangan kamu sekarang seperti kehilangan arah seperti itu. Bukan tanggung jawabku membahagiakanmu"

"Tapi, Mas. Aku hanya ingin minta maaf"

Segera Amel melepaskan cengkraman tangannya. Berlari meninggalkan Bayu.

Hmmmmm,,, lagi-lagi Bayu hanya bisa menghela nafas. Seolah masih belum menyadari apa yang baru saja Ia hadapi.

Insyaallah
Insyaallah
You'll find the way
Insyaallah
Insyaallah
You'll find the way

Terpaku dalam sebuah bait lirik Maher Zein, Bayu pun berlutut. Seraya tak kuat Ia untuk berdiri. Ia pun menitikkan air mata. Dan, tak lama suara dengungan mobil berlalu, lama-lama menghilang. Sejenak suasana menjadi hening. Bayu hanya berharap, berharap semua kan indah hingga waktunya Ia bisa mengawalinya dengan senyuman.

Dayung menepikan riak
Kala itu air pun menapak dalam
Aku bisa melihat kau begitu tenang
Karena aku tak buta

Bisa saja kau menelanku
Hingga kutak mampu menuju permukaan
Dan aku sadar
Aku tak buta

Bayu

Bayu mengambil HP dalam sakunya, dan lalu pergi sebelum Ia mengucapkan
"Tunggu papa di rumah, I Love You, Mah,,," dalam telfonnya.

Insyaallah
We'll find the way
Insyallah,,,,


~end~


Bayu and the leaf
@sahur

Augst 20th, 2011

Ada Apa dengan Mudik? Suatu Fenomena??







POKOKNYA MUDIK

Mudik, pada awalnya merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Jawa, yang kemudian menjadi populer ditelinga masyarakat Indonesia. Ada yang menduga istilah ini berasal dari kata "udik" yang berarti arah hulu sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Orang yang pulang ke kampung disebut "me-udik", yang kemudian dipersingkat menjadi mudik.



Fenomena mudik yang ditandai dengan membludaknya penumpang kendaraan umum adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan lebaran. Di setiap terminal, pelabuhan, stasiun, bahkan bandara selalu tampak membludak manusia, seolah-olah mudik lebaran merupakan bagian ”ritual” puasa. Itulah kenapa mendiang Nurcholish Madjid dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1998) pernah berkomentar bahwa ”mudik lebaran adalah puncak pengalaman sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia.”



Dengan semangat yang kurang lebih sama, Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual (1997) mengungkapkan, mudik lebaran merupakan corak manis tentang bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia, khususnya budaya Melayu. ”Hanya di Indonesia, kita akan menemukan arus mudik, penumpang yang berdesakan, wajah-wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, dan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman”. Menurut dia, lebaran tidak sama persis dengan Idul Fitri. Lebaran hanyalah sejenis Idul Fitri, diantara berbagai jenis Idul Fitri di dunia.



Karena itulah, bagi orang Indonesia di perantauan, ”Idul Fitri” dan ”mudik” tidak dapat dipisahkan dari segi bahasa yang sama-sama bermakna ”kembali”. Kata Idul Fitri lebih banyak mengarah pada konteks ketuhanan. Menurut ahli tafsir, M Quraish Shihab dalam buku Wawasan Alquran (1999), Idul Fitri berarti kembalinya manusia pada keadaan suci atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda. Sementara mudik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), salah satunya berarti pulang (kembali) ke kampung halaman. Dalam ranah sastra, misalnya, Mustofa W Hasyim pernah menulis cerpen berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.



Fenomena mudik ini kalau diruntutkan merupakan sebuah mata rantai yang terjadi sebagai hasil masyarakat ( umat islam ) dalam menyikapi fenomena lebaran. Dimana adanya pergeseran makna mengenai lebaran atau dalam agama dinamakan Idul Fitri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Dari segi waktunya lebaran tidak hanya pada 1 dan 2 Syawal saja, tetapi sepanjang bulan, bahkan bisa berlangsung sampai bulan berikutnya. Dalam waktu yang relatif panjang itu lah umat Islam di Indonesia berlebaran; berhalal bi halal atau bersilatur-rahmi ke tetangga, sanak-famili, dan handai-tolan sambil saling meminta /memberi maaf, serta melaksanakan ziarah ke kuburan para leluhur dan anggota keluarga yang sudah lebih dahulu meninggal. Orang-orang kota yang berasal dari udik, tentu saja merasa tidak afdal jika kegiatan halal bi halal hanya dilakukan di kota, karena sebagian besar sanak-keluarga dan kuburan leluhurnya ada di udik. Untuk itu mudik menjadi satu keharusan dan menjadi bagian dari tradisi lebaran di negeri ini. Suatu tradisi yang cukup unik, hanya menjadi milik umat Muslim Indonesia.



2. MUDIK SEBAGAI PERILAKU SOSIAL

Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal, hal ini terkait dengan politik pembangunan. Ternyata selama ini kota menjadi lumbung uang yang cukup menggiurkan, sedangkan desa-desa dibiarkan miskin dan tertinggal. Karenanya arus urbanisasi mengalir deras demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kaum urban inilah yang kemudian rame-rame mudik lebaran. Mereka menjadikan hari lebaran sebagai musim mudik, karena hanya inilah saat yang tersedia, sebab di hari lain mereka sangat sibuk dengan pekerjaan – pekerjaan mereka di kota. Selain itu alasan orang untuk melakukan mudik sangat bervariasi ada yang beralasan untuk melepas rindu kepada sanak-saudara, melepas kepenatan, menunjukkan kesuksesan di kota, mendidik anak dengan kehidupan desa, atau mungkin sekedar refreshing menghindar sebentar dari hiruk-pikuk kebisingan kota serta kecemaran udara oleh asap mesin dan debu.



Mudik adalah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di hari raya idul fitri akan dianggap gagal dalam merantau. Fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk menyewa mobil demi prestis yang ingin didapat. Jadi inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan mereka mengais rejeki di tanah perantauan.

Maka ketika banyak masyarakat di hari raya idul fitri pulang ke kampung halamannya, sesungguhnya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.



Sebenarnya banyak sekali hambatan – hambatan yang menghadang orang untuk melakukan mudik. Baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial sendiri kebanyakan para parantau memikul beban yang sangat berat ketika mudik. Mereka dihadapkan pada tanggung jawab sosial kepada masyarakat kampungnya bahwa mereka harus menunjukkan kesuksesannya di perantauan dengan simbol – simbol seperti pakaian neces, wangi, serta lenggak – lenggok dan bahasa yang menunjukan superioritasnya di kampung, walaupun sebenarnya di kota mereka sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga, atau mungkin malah pengangguran. Selain itu tuntutan ekonomis juga menjadi hambatan mereka untuk mudik. Mereka dituntuk untuk membawa uang banyak agar bisa memberikannya kepada orang tua atau kerabatnya. Jika mereka tidak melakukan seperti itu mereka akan merasa malu dan dianggap tidak sukses di perantauan. Hal itulah yang mejadi hambatan, namun demikian tradisi mudik bukannya menurun tapi justru malah semakin fenomenal.



Dari hal itu sekali lagi dapat dikatakan Idulfitri menjadi momentum bagi para perantau untuk unjuk gigi di daerah. Terkait hal ini, maka wajar jika idulfitri di daerah terasa lebih meriah. Bahkan, kemeriahan ini juga diikuti dengan peningkatan belanja konsumsi para perantau. Para perantau menjadi sangat konsumtif ketika berada di kampung halamannya.

Hal ini merupakan potret ironis para perantau. Dimana ketika berada di kota mereka bekerja keras menghadapi kerasnya kota demi mencari uang untuk kelayakan hidupnya, tapi setelah pulang ke kampung mereka seakan sangat mudah untuk menghabiskannya. Perilaku konsumtif para perantau seakan menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Adapun alasan yang muncul yaitu karena perilaku konsumtif identik dengan simbol keberhasilan di perantauan. Dengan kata lain, jika perantau tidak menunjukkan perilaku konsumtif di daerah asal selama idulfitri maka mereka bisa diidentikkan sebagai perantau yang tidak sukses.Dengan mudik, orang yang sudah kehilangan jati dirinya di tengah kota ingin menemukan kembali jati dirinya dengan cara menghirup kembali udara desa sambil mengenang masa lalunya di sana. Jika di kota ia hanya menjadi ibarat sebuah skrup dari mesin besar, maka di kampung ia dihargai sebagai manusia. Jika di kota ia diberi label sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga atau lainnya, maka di desa ia dipanggil sebagai anak, abang, atau adik.



SIMPULAN



Tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia bukan sekedar tradisi keagamaan semata tapi menjadi sebuah momen untuk bersilaturahmi dengan keluarga serta yang paling menarik ternyata hal ini juga digunakan sebagai momen untuk menunjukan keberhasilannya di tanah rantau. Selain itu mudik juga menjadi momen untuk mengembalikan jati dirinya. Dimana selama bekerja di kota, mereka seperti skrup dari mesin besar kota yang tidak begitu berpengaruh. Di kampung halaman mereka sejenak melupakan hiruk pikuk kebisingan, gertakan dan ancaman dikota. Selama di kampung halaman mereka akan menemukan jati dirinya yang hilang selama dikota. Dimana ketika di kota mereka di panggil dengan sebutan buruh, pembantu, dll. Sementara di kampungnya mereka dipanggil abang, anak, adik, saudara dll. Atau dapat dikatakan para kaum urban akan memperoleh status sosial yang tinggi serta memperoleh arti kemanusiaan di kampung halamannya yang tidak bisa didapat di kota.

mabok pasti bikin masalah



Suatu ketika, ada seorang businessman yang menghadiri pesta sampai mabuk. Businessman kita ini tahu bahwa di Aussie, ada hukuman berat bagi orang-orang yang melakukan drink-driving (nyetir mobil dalam keadaan mabuk). Tapi malam itu, si businessman mencoba peruntungannya, siapa tahu ia tidak dicegat polisi di jalan.

Namun sialnya, ternyata malam itu semua kendaraan di jalanan yang dilalui oleh si businessman diperiksa polisi. Tidak mungkin baginya untuk kabur karena kendaraan lain sudah mengantre di belakang kendaraannya. Dengan was-was, ia menunggu gilirannya.

Tatkala gilirannya tiba, oleh polisi ia dipersilahkan untuk keluar dari mobilnya. Lalu, ia diberikan sebuah alat tes kadar alkohol serupa alat tiup untuk menguji kadar alkohol dalam napasnya. Tepat ketika ia baru hendak menghembuskan napasnya ke dalam alat itu, tiba-tiba terdengar suara berdentum di belakang.

Teryata ada mobil yang menabrak mobil lainnya. Segera polisi mengambil kembali alat tes itu seraya berkata, "Lebih baik kami mengurusi tabrakan itu daripada mengurusi kamu. Sekarang, kamu pulang saja!". Dengan perasaan plong, ia segera masuk ke mobil, lalu tancap gas untuk pulang.

Keesokan paginya, ketika masih enak-enaknya tidur di kasur nan empuk, ia mendengar bel pintu rumahnya didering berkali-kali tanpa putus. Dengan perasaan jengkel, ia bergegas turun ke lantai bawah, lalu membuka pintu depan. Alangkah kagetnya businessman kita ini tatkala melihat dua orang polisi berbadan besar berdiri di depan pintu rumahnya itu. Tapi si businessman berpikiran, "Kan aku tidak berbuat kesalahan apapun. Jadi, ngapain aku takut?"

Disapanya kedua polisi itu, "Yes, can I help you, Sir?" ("Ya, ada yang bisa saya bantu, Pak?")

Salah satu polisi itu menjawab, "Apa kami bisa melihat garasi mobil Anda?"

"Tentu saja!" jawab si businessman.

Tatkala businessman ini membukakan pintu garasi mobilnya, hampir saja jantungnya copot. Di dalam garasinya itu, ternyata yang didapatinya bukan mobil miliknya, namun mobil polisi. Rupa-rupanya, malam sebelumnya, ketika diminta polisi untuk pulang, karena mabuk, bukannya ia masuk ke dalam mobilnya sendiri, tapi malahan ia salah masuk ke dalam mobil polisi.

(Sumber: Hore! Guru si Cacing Datang)