Chapter 1: Akar
By Dii Ann Choco · Wednesday, April 8, 2009
Aku mengenalnya ketika pertama kali aku menginjak salah satu kota di kabupaten yang terpencil di Jawa Timur untuk melanjutkan sekolah di lanjutan pertama, saat orang tuaku memutuskan pindah dari pedesaan demi pendidikan anak-anaknya agar lebih terjamin.
Pertama aku melihat Nona yang sekelas denganku dengan balutan baju seragam putih biru di tubuh mungilnya, tidak ada yang spesial saat itu. Aku memang tidak mudah melihat seseorang menjadi spesial sebelum aku mengenalnya dengan baik.
Walaupun aku dan Nona satu kelas, tidak banyak percakapan diantara kami sampai beberapa minggu sesudahnya. Aku duduk sebangku dengan anak baru dari Padang, sebut saja namanya Wawan. Badannya cukup besar untuk ukuran anak SMP, tapi kulitnya yg putih membedakan dia dengan penduduk asli sini yang rata-rata sawo matang. Wawan ternyata tertarik pada Nona. Aku tertawa geli mendengarnya, bayangkan saja umur baru 12 tahun, masih bercelana pendek, bahkan kakinya saja belum berbulu sempurna sudah berani menyatakan cinta. Aku ikuti aja maunya untuk jadi mak comblangnya dengan Nona, demi teman. Itulah saat-saat pertama aku dekat dengan nona, tapi tetap saja tidak ada yang special.
Ternyata yang lebih mengejutkan adalah bahwa Nona juga tertarik pada Wawan. Bagus deh, aku jadi tidak perlu bersusah payah mendekatkan mereka. Dasar cinta monyet, untuk jalan bareng saja masih malu, apalagi untuk hang out, yang mereka lakukan mungkin hanya sebatas obrolan di kelas, namun lebih detailnya aku tidak tahu, toh waktu itu pikiranku belum macam-macam. Situasi seperti ini yang membuatku semakin dekat dengan Nona, menjadi penghubungnya dengan Wawan. Kadang kami tertawa lepas di kelas sedangkan Wawan hanya memandangnya dari jauh karena malu untuk mendekat.
Sampai suatu ketika Nona mengatakan padaku agar aku tak lagi berbicara dengannya karena Wawan cemburu, aku hanya menjawab terserah mengikuti maunya. Kemudian aku pun pindah tempat duduk tak lagi sebangku dengan Wawan agar aku tak merusak hubungan persahabatan kami, persahabatanku dengan Wawan dan juga dengan Nona. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian ku dengar mereka putus. Walaupun aku lihat mereka tersakiti dengan putusnya cinta monyet mereka yang mereka sebut First Love, dengan waktu tak lama juga aku mendengar masing-masing telah jadian dengan cinta monyet yang lain.
Namun aku tetap tidak perduli dengan urusan mereka, juga dengan Nona yang masih saja tak mau bicara denganku. Sampai kenaikan kelas 2, di awal pelajaran baru wali kelasku ingin membuat suasana kelas lebih segar dengan memposisikan muridnya duduk sebangku berpasang-pasangan. Entah di sengaja atau tidak, aku dipilih untuk duduk sebangku bersama Nona. Walaupun merasa canggung pada awalnya karena sampai satu hari sebelum itu dia belum bicara denganku, akhirnya hari itu bisa aku lewatkan dengan baik bersamanya. Kami kembali bersenda gurau, menemukan kecocokan kembali seperti jauh sebelumnya.
Dia sering meledekku dengan kelakuanku yang selalu kabur kalau melihat cinta monyetku. Waktu itu entah kenapa walaupun aku mengikuti trend cinta monyet aku tak pernah berani bertemu langsung dengan pacar-pacarku di sekolah. Tapi tak jarang sebaliknya aku berhasil meledeknya tantang pacar-pacar barunya yang selalu berganti, sampai mukanya bersemu merah. Menggodanya sampai dia membelalakkan matanya yang bulat indah.
Yang aku herankan adalah pacar-pacarnya dia tak pernah cocok denganku, juga sebaliknya pacar-pacarku tak pernah bisa berkompromi dengannya. Beberapa pacarnya lagi-lagi cemburu padaku, tapi kali ini Nona tak mau lagi untuk menjauhiku seperti keetika dia menuruti permintaan Wawan. Sedangkan pacar-pacarku malah ada yang sampai benci banget sama dia dan akhirnya memutuskanku hanya karena kedekatanku dengan Nona.
Banyak yang mempertanyakan hubungan kami sebenarnya, tapi bagiku Nona hanya adik kecilku, adik terbungsu yang harus aku lindungi, yang selalu bisa bermanja padaku. Sedangkan bagi Nona aku pun tak jauh beda, hanya kakak baginya. Persahabatanku dan dia sudah menjadi persaudaraan, tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain Kami pun sepakat untuk berkomitmen: No Love, No Lover, and Never Be a Lover antara kami.
Persahabatan ini di tambah dengan 2 orang lainnya yaitu Yosh dan Dina. Yosh adalah sahabatku setelah aku jauh dari Wawan, padahal dia adalah orang yang kukenal pertama kali saat aku menginjak sekolah ini, sedangkan Dina adalah sahabatnya Nona yang baik banget, pendiam, pengertian, dan selalu siap untuk kami bertiga. Berempat kami menyebut diri kami DYAN, menggelikan sekali.
Di luar sekolah terkadang kami jalan-jalan bersepeda berempat memutari kota, merampok rumah teman-teman kelas dan menyantroni teman-teman lainnya. Walaupun kemana-mana selalu berempat, tanpa disadari yang menjadi leader adalah aku dan Nona. Sebagian besar inisiatif dan ide adalah dari aku dan dia. Tanpa disadari justru aku dan Nona terlihat seperti pasangan sedangkan Yosh dan Dina pendamping, padahal tidak ada sedikitpun maksud untuk itu. Sempat aku mengajukan keberatan pada Nona untuk bertukar pasangan jika sedang berjalan berempat, tapi ujung-ujungnya tetap saja selalu begitu. Akhirnya aku selalu berusaha menjadi netral dengan selalu berempat.
Menjelang kelulusan SMP aku sempat berpamitan pada mereka untuk mencoba salah satu sekolah lanjutan atas khusus untuk pemerintahan Tapi karena gagal untuk kualifikasinya aku kemabali sekolah di salah satu sekolah favorit di kota kabupaten tempat kelahiranku. Sayangnya di antara kami berempat Yosh gagal memenuhi syarat masuk sekolah yang sama sehingga dia berbeda sekolah. Sedangkan aku, Nona, dan Dina memang satu sekolah tapi kami tak lagi satu kelas.
Perlahan, walaupun persahabatan kami masih ada, kami menemukan sahabat-sahabat yang lain, jarak pun mulai tercipta. Aku terlena dengan teman-temanku yang baru, Dina juga dengan sahabat-sahabatnya yang sama sekali tidak bisa aku masuki, dan Nona dengan teman-temannya yang.. ah ini lah yang nantinya akan menyebabkan hubunganku dengan Nona menjadi renggang.
Waktu itu aku adalah orang yang idealis, yang semuanya harus sesuai dengan peraturan. Di kota kecil ini segala tingkah laku mendapat cap sesuai dengan yang di perbuatnya. Entah memang lingkungan disini yang masih kampungan atau aku yang masih hijau terlalu mempedulikan pendapat orang lain yang hanya melihat kuarnya saja. Demikian juga dengan teman-teman kelas Nona yang waktu itu pergaulannya tidak cocok bagiku. Padahal sebenarnya mereka baik-baik kok, bahkan kompak banget sehingga kadang bercandanya keterlaluan untuk ukuran anak SMA. Bercanda yang kadang kelewatan ini yang membuatku mengingatkan Nona untuk jaga diri, tapi dia salah tanggap dengan mengganggap aku iri pada teman-temannya. Untuk ke dua kalinya hubunganku dengan Nona menjauh.
Setelah kenaikan kelas aku sedih melihat dia semakin jauh. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku pun tenggelam pada beberapa ekstra kurikuler yang aku ikuti di sekolah. Dua diantaranya aku ikut hanya agar bisa dekat dengan Nona. Saat-saat ini aku mulai bertanya dalam hati apakah aku mempunya perasaan yang berlebihan pada dia. Tapi aku bersikukuh mengingatnya sebagai adik kecilku dan komitmen kami.
Tak disangka saat kelas tiga SMA aku sekelas dengan Nona!
Antara senang dan tidak aku kembali sekelas dengan dia, apalagi sebagian dari teman-teman kelasku berasal dari kelasnya. Entah apa yang ada di otakku waktu itu aku iseng mengirim ke majalah sekolahku sebuah cerpen yang sebenarnya bukan tentang Nona tapi ada kata-kata yang aku buat untuk menyindirnya, yang aku buat satu tahun sebelumnya.
Aku ingat waktu itu dia dengan muka merah dan mata berkaca-kaca memasuki kelas dan membanting sebuah majalah ke atas mejaku. Aku yang sedang bercanda dengan temanku terkejut dengan sikapnya dan terdiam sampai dia meninggalkan kelasku. Majalah yang dia lempar masih diatas mejaku. Aku membuka bagian yang dia kasi tanda, cerpenku. Sederet tulisan menggunakan tinta merah tertulis disitu.
“I know its me!!
You are talking about me with your wrong perseption!
Why you never ask me before?
Why you never try to talk with me about all of this?
I’m veri dissappointed of you.
I thought you know me, I thought you really understand me, but I’m wrong.
I hate you…”
Wew, aku terdiam membacanya. Apalagi tak lama kemudian beberapa teman lelaki yang berasal dari kelasnya dulu mendatangiku dengan muka masam dan merengkuh leher bajuku, mengecamku dan menanyaiku apa yang telah aku lakukan. Mungkin karena darah muda saja waktu itu aku melawan dengan emosi dengan menjawab bahwa itu bukan urusan temannya. Teman lelaki Nona menantangku sepulang sekolah, tapi hal ini terdengar teman-temanku dan saat pulang sekolah hampir saja terjadi tawuran antar kelas.
Tawuran ini kugagalkan dengan menantang teman lelaki Nona 1 lawan 1, dan tantanganku di terima. Waktu itu aku tidak mau berkelahi di seputar sekolah sehingga aku meminta tempat lain yang disepakati teman-teman. Langsung kupacu motorku menuju tempat yang telah disepakati, sebuah lapangan terbang yang terbengkalai. Namun di tengah perjalanan sesosok wanita dengan motor bebek mengejarku dan memaksaku untuk minggir. Dia Nona.
Sambil menangis menghampiriku yang berhenti tak jauh dari motornya. Nona meminta aku untuk tidak melanjutkan pertengkaran bersama temannya. Teman lelakinya yang baru menyusul terkejut ketika ada Nona dan dia terdiam saat Nona memintanya untuk menghentikan sikapnya yang membela Nona. Ketika aku dan teman lelakinya Nona mengiyakan permintaannya, tiba-tiba Nona melihatku dengan tatapan kecewa dan kembali menangis kemudian kembali memacu motornya.
“Kamu musti tanggung jawab telah membuatnya menangis!” ujar temen lelakinya tiba-tiba mengagetkan diamku.
Aku langsung loncat ke atas motorku dan mengejar Nona. Ternyata dia menuju rumah salah satu sahabatnya yang tak jauh dari tempat tadi kami berhenti. Dia langsung masuk menemui sahabatnya dan memeluknya sambil menangis. Aku yang sampai tak lama kemudian menyusulnya ke dalam rumah. Hal itu rupanya mengagetkan Nona, dia tak menyangka aku akan mengejarnya. Nona melepas pelukannya pada sahabatnya dan memandangku kemudian berlari memelukku.
“I miss my big Brother…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------![](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_v6vDbjbQ7cFumVErsairVlWOSFGFXV2UId8465BFkWH9Tb4iUNt79T8POTbLphieZhKjD_iUJEuMwFJHIT519ZuS9o7jMzt8jl7OoNvQqms12r69Xrj69gMM5OEBdxyJKA_Z_fmKL5Ju_dV16PAmvRMo8wWI9MT7sOnpCFpVVrtdLC-qc=s0-d)
Aku mengenalnya ketika pertama kali aku menginjak salah satu kota di kabupaten yang terpencil di Jawa Timur untuk melanjutkan sekolah di lanjutan pertama, saat orang tuaku memutuskan pindah dari pedesaan demi pendidikan anak-anaknya agar lebih terjamin.
Pertama aku melihat Nona yang sekelas denganku dengan balutan baju seragam putih biru di tubuh mungilnya, tidak ada yang spesial saat itu. Aku memang tidak mudah melihat seseorang menjadi spesial sebelum aku mengenalnya dengan baik.
Walaupun aku dan Nona satu kelas, tidak banyak percakapan diantara kami sampai beberapa minggu sesudahnya. Aku duduk sebangku dengan anak baru dari Padang, sebut saja namanya Wawan. Badannya cukup besar untuk ukuran anak SMP, tapi kulitnya yg putih membedakan dia dengan penduduk asli sini yang rata-rata sawo matang. Wawan ternyata tertarik pada Nona. Aku tertawa geli mendengarnya, bayangkan saja umur baru 12 tahun, masih bercelana pendek, bahkan kakinya saja belum berbulu sempurna sudah berani menyatakan cinta. Aku ikuti aja maunya untuk jadi mak comblangnya dengan Nona, demi teman. Itulah saat-saat pertama aku dekat dengan nona, tapi tetap saja tidak ada yang special.
Ternyata yang lebih mengejutkan adalah bahwa Nona juga tertarik pada Wawan. Bagus deh, aku jadi tidak perlu bersusah payah mendekatkan mereka. Dasar cinta monyet, untuk jalan bareng saja masih malu, apalagi untuk hang out, yang mereka lakukan mungkin hanya sebatas obrolan di kelas, namun lebih detailnya aku tidak tahu, toh waktu itu pikiranku belum macam-macam. Situasi seperti ini yang membuatku semakin dekat dengan Nona, menjadi penghubungnya dengan Wawan. Kadang kami tertawa lepas di kelas sedangkan Wawan hanya memandangnya dari jauh karena malu untuk mendekat.
Sampai suatu ketika Nona mengatakan padaku agar aku tak lagi berbicara dengannya karena Wawan cemburu, aku hanya menjawab terserah mengikuti maunya. Kemudian aku pun pindah tempat duduk tak lagi sebangku dengan Wawan agar aku tak merusak hubungan persahabatan kami, persahabatanku dengan Wawan dan juga dengan Nona. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian ku dengar mereka putus. Walaupun aku lihat mereka tersakiti dengan putusnya cinta monyet mereka yang mereka sebut First Love, dengan waktu tak lama juga aku mendengar masing-masing telah jadian dengan cinta monyet yang lain.
Namun aku tetap tidak perduli dengan urusan mereka, juga dengan Nona yang masih saja tak mau bicara denganku. Sampai kenaikan kelas 2, di awal pelajaran baru wali kelasku ingin membuat suasana kelas lebih segar dengan memposisikan muridnya duduk sebangku berpasang-pasangan. Entah di sengaja atau tidak, aku dipilih untuk duduk sebangku bersama Nona. Walaupun merasa canggung pada awalnya karena sampai satu hari sebelum itu dia belum bicara denganku, akhirnya hari itu bisa aku lewatkan dengan baik bersamanya. Kami kembali bersenda gurau, menemukan kecocokan kembali seperti jauh sebelumnya.
Dia sering meledekku dengan kelakuanku yang selalu kabur kalau melihat cinta monyetku. Waktu itu entah kenapa walaupun aku mengikuti trend cinta monyet aku tak pernah berani bertemu langsung dengan pacar-pacarku di sekolah. Tapi tak jarang sebaliknya aku berhasil meledeknya tantang pacar-pacar barunya yang selalu berganti, sampai mukanya bersemu merah. Menggodanya sampai dia membelalakkan matanya yang bulat indah.
Yang aku herankan adalah pacar-pacarnya dia tak pernah cocok denganku, juga sebaliknya pacar-pacarku tak pernah bisa berkompromi dengannya. Beberapa pacarnya lagi-lagi cemburu padaku, tapi kali ini Nona tak mau lagi untuk menjauhiku seperti keetika dia menuruti permintaan Wawan. Sedangkan pacar-pacarku malah ada yang sampai benci banget sama dia dan akhirnya memutuskanku hanya karena kedekatanku dengan Nona.
Banyak yang mempertanyakan hubungan kami sebenarnya, tapi bagiku Nona hanya adik kecilku, adik terbungsu yang harus aku lindungi, yang selalu bisa bermanja padaku. Sedangkan bagi Nona aku pun tak jauh beda, hanya kakak baginya. Persahabatanku dan dia sudah menjadi persaudaraan, tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain Kami pun sepakat untuk berkomitmen: No Love, No Lover, and Never Be a Lover antara kami.
Persahabatan ini di tambah dengan 2 orang lainnya yaitu Yosh dan Dina. Yosh adalah sahabatku setelah aku jauh dari Wawan, padahal dia adalah orang yang kukenal pertama kali saat aku menginjak sekolah ini, sedangkan Dina adalah sahabatnya Nona yang baik banget, pendiam, pengertian, dan selalu siap untuk kami bertiga. Berempat kami menyebut diri kami DYAN, menggelikan sekali.
Di luar sekolah terkadang kami jalan-jalan bersepeda berempat memutari kota, merampok rumah teman-teman kelas dan menyantroni teman-teman lainnya. Walaupun kemana-mana selalu berempat, tanpa disadari yang menjadi leader adalah aku dan Nona. Sebagian besar inisiatif dan ide adalah dari aku dan dia. Tanpa disadari justru aku dan Nona terlihat seperti pasangan sedangkan Yosh dan Dina pendamping, padahal tidak ada sedikitpun maksud untuk itu. Sempat aku mengajukan keberatan pada Nona untuk bertukar pasangan jika sedang berjalan berempat, tapi ujung-ujungnya tetap saja selalu begitu. Akhirnya aku selalu berusaha menjadi netral dengan selalu berempat.
Menjelang kelulusan SMP aku sempat berpamitan pada mereka untuk mencoba salah satu sekolah lanjutan atas khusus untuk pemerintahan Tapi karena gagal untuk kualifikasinya aku kemabali sekolah di salah satu sekolah favorit di kota kabupaten tempat kelahiranku. Sayangnya di antara kami berempat Yosh gagal memenuhi syarat masuk sekolah yang sama sehingga dia berbeda sekolah. Sedangkan aku, Nona, dan Dina memang satu sekolah tapi kami tak lagi satu kelas.
Perlahan, walaupun persahabatan kami masih ada, kami menemukan sahabat-sahabat yang lain, jarak pun mulai tercipta. Aku terlena dengan teman-temanku yang baru, Dina juga dengan sahabat-sahabatnya yang sama sekali tidak bisa aku masuki, dan Nona dengan teman-temannya yang.. ah ini lah yang nantinya akan menyebabkan hubunganku dengan Nona menjadi renggang.
Waktu itu aku adalah orang yang idealis, yang semuanya harus sesuai dengan peraturan. Di kota kecil ini segala tingkah laku mendapat cap sesuai dengan yang di perbuatnya. Entah memang lingkungan disini yang masih kampungan atau aku yang masih hijau terlalu mempedulikan pendapat orang lain yang hanya melihat kuarnya saja. Demikian juga dengan teman-teman kelas Nona yang waktu itu pergaulannya tidak cocok bagiku. Padahal sebenarnya mereka baik-baik kok, bahkan kompak banget sehingga kadang bercandanya keterlaluan untuk ukuran anak SMA. Bercanda yang kadang kelewatan ini yang membuatku mengingatkan Nona untuk jaga diri, tapi dia salah tanggap dengan mengganggap aku iri pada teman-temannya. Untuk ke dua kalinya hubunganku dengan Nona menjauh.
Setelah kenaikan kelas aku sedih melihat dia semakin jauh. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku pun tenggelam pada beberapa ekstra kurikuler yang aku ikuti di sekolah. Dua diantaranya aku ikut hanya agar bisa dekat dengan Nona. Saat-saat ini aku mulai bertanya dalam hati apakah aku mempunya perasaan yang berlebihan pada dia. Tapi aku bersikukuh mengingatnya sebagai adik kecilku dan komitmen kami.
Tak disangka saat kelas tiga SMA aku sekelas dengan Nona!
Antara senang dan tidak aku kembali sekelas dengan dia, apalagi sebagian dari teman-teman kelasku berasal dari kelasnya. Entah apa yang ada di otakku waktu itu aku iseng mengirim ke majalah sekolahku sebuah cerpen yang sebenarnya bukan tentang Nona tapi ada kata-kata yang aku buat untuk menyindirnya, yang aku buat satu tahun sebelumnya.
Aku ingat waktu itu dia dengan muka merah dan mata berkaca-kaca memasuki kelas dan membanting sebuah majalah ke atas mejaku. Aku yang sedang bercanda dengan temanku terkejut dengan sikapnya dan terdiam sampai dia meninggalkan kelasku. Majalah yang dia lempar masih diatas mejaku. Aku membuka bagian yang dia kasi tanda, cerpenku. Sederet tulisan menggunakan tinta merah tertulis disitu.
“I know its me!!
You are talking about me with your wrong perseption!
Why you never ask me before?
Why you never try to talk with me about all of this?
I’m veri dissappointed of you.
I thought you know me, I thought you really understand me, but I’m wrong.
I hate you…”
Wew, aku terdiam membacanya. Apalagi tak lama kemudian beberapa teman lelaki yang berasal dari kelasnya dulu mendatangiku dengan muka masam dan merengkuh leher bajuku, mengecamku dan menanyaiku apa yang telah aku lakukan. Mungkin karena darah muda saja waktu itu aku melawan dengan emosi dengan menjawab bahwa itu bukan urusan temannya. Teman lelaki Nona menantangku sepulang sekolah, tapi hal ini terdengar teman-temanku dan saat pulang sekolah hampir saja terjadi tawuran antar kelas.
Tawuran ini kugagalkan dengan menantang teman lelaki Nona 1 lawan 1, dan tantanganku di terima. Waktu itu aku tidak mau berkelahi di seputar sekolah sehingga aku meminta tempat lain yang disepakati teman-teman. Langsung kupacu motorku menuju tempat yang telah disepakati, sebuah lapangan terbang yang terbengkalai. Namun di tengah perjalanan sesosok wanita dengan motor bebek mengejarku dan memaksaku untuk minggir. Dia Nona.
Sambil menangis menghampiriku yang berhenti tak jauh dari motornya. Nona meminta aku untuk tidak melanjutkan pertengkaran bersama temannya. Teman lelakinya yang baru menyusul terkejut ketika ada Nona dan dia terdiam saat Nona memintanya untuk menghentikan sikapnya yang membela Nona. Ketika aku dan teman lelakinya Nona mengiyakan permintaannya, tiba-tiba Nona melihatku dengan tatapan kecewa dan kembali menangis kemudian kembali memacu motornya.
“Kamu musti tanggung jawab telah membuatnya menangis!” ujar temen lelakinya tiba-tiba mengagetkan diamku.
Aku langsung loncat ke atas motorku dan mengejar Nona. Ternyata dia menuju rumah salah satu sahabatnya yang tak jauh dari tempat tadi kami berhenti. Dia langsung masuk menemui sahabatnya dan memeluknya sambil menangis. Aku yang sampai tak lama kemudian menyusulnya ke dalam rumah. Hal itu rupanya mengagetkan Nona, dia tak menyangka aku akan mengejarnya. Nona melepas pelukannya pada sahabatnya dan memandangku kemudian berlari memelukku.
“I miss my big Brother…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar