13 Maret 2011

[Red Rose] Mawar Merah

Chapter 10 : Survival
by Dii Ann Choco on Monday, August 10, 2009 at 11:22am

Nona, sebuah nama yang benar-benar aku coba untuk tak pernah lagi memikirkannya. Seraut wajah chubbynya kini tak lagi menghantui terus menerus, terpendam di dalam lubuk hati yang paling dalam. Mungkin bisa ditebak, aku pun menjalani hidupku ditemani oleh Amy, sosok yang selama ini menemaniku dengan wajahnya yang selalu ceria.

Dia gadis yang baik hati, supel dan hampir seluruh orang menyenanginya. Satu hal yang paling aku kagumi adalah dia selalu melihat orang lain dari sisi baiknya. Tapi tentang perasaanku padanya? Entahlah, aku hanya menjalaninya saja


Setelah kisah cinta yang seakan mendramatisir kehidupankuku dan Nona, aku tak lagi berharap banyak kecuali Amy membuatku bisa mencintainya dan melupakan masa lalu yang penuh sakit.


Tapi ternyata itu tidak mudah, sekian lama bersama Amy ternyata aku tak bisa membohongi nuraniku bahwa aku masih mencintai Nona. Pernah aku meminta Amy untuk meninggalkanku tapi dia tidak pernah beranjak dari sisiku, aku tak tahu apakah karena dia mencintaiku atau karena mengasihani sesosok lelaki yang teronggok dengan pikiran kosong. Pada akhrnya aku hanya bisa berharap dia bisa mangelihkan jiwa dan hatiku dari Nona.


Disisi lain, aku mencoba mengalihkan perhatianku pada hal-hal lain yang aku harap dapat membuatku berpikir tentang Nona. Aku mulai aktif di aktifitas kampus dan organisasi-organisasi di luar kampus, hanya benar-benar berharap itu akan membuatku melupakannya.


Beberapa bulan kemudian aku mendengar Nona memutuskan hubungan dengan Suman.


Serapat-rapatnya aku menutup hatiku tentang Nona, ternyata hal itu masih membuatku tertegun. Walaupun aku mencoba untuk tak peduli, tapi mau tak mau hal ini telah mengusik hati kecilku. Sisi lain hatiku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, atau bagaimana kabar Nona, atau bahkan mungkin bagaimana mereka putus. Harus kuakui jauh dilubuk hatiku ada secercah harapan yang terbit ketika mendengar kabar ini.


Bahkan hal ini ternyata benar-benar mengganggu tidurku, hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan berdampak sebesar ini. Walaupun berkali-kali aku menegaskan pada diriku sendiri untuk tidak menggubris tapi hati kecilku tak mampu membohongi diriku sendiri bahwa aku memikirkannya. Setiap malam tidurku terganggu pada pikiran-pikiran tentang Nona, bermimpi tentang Nona entah bagiku itu adalah mimpi buruk atau mimpi yang penuh dengan impian.


Cinta memang menyebalkan...!


Dan hari itu sahabat lamaku, Yosh, menelponku dari seberang, dari kampung halamannya, mengabarkan bahwa Nona saat itu sedang berada disitu. Aku mengatakannya pada Yosh itu takkan berpengaruh pada apapun padaku. Yosh menjawab dengan tawa renyahnya bahwa janganlah aku membohongi diri sendiri lagi. Apakah aku ga capek dengan semua ini? Haruskah mempertahankan ego dan menyakiti diri sendiri secara terus menerus?


“Berangkat malam ini, besok pagi aku yang atur yak,” sahut Yosh dan segera memutuskan pembicaraan kami di telepon.


Aku terdiam.


Setelah semalaman berpikir aku pun mengambil keputusan. Setelah aku meninggalkan sepucuk surat pada Amy bahwa aku memutuskan untuk mengejar mimpiku kembali. Aku tak mau mengatakannya langsung karena tidak mau di bebani oleh kata-kata yang mungkin bisa merubah langkahku. Aku segera berangkat ke kampung halamanku menggunakan bus malam yang ada saat itu.


Matahari belum menyinari terik ketika aku melangkahkan kaki ke kampung halaman yang amat kucinta ini. Inginku menjejakkan kaki di halaman rumah orang tuaku, tapi aku tak mau mereka tahu bahwa aku pulang hanya demi seorang gadis. Akhirnya aku pun bisa bernafas panjang saat melihat si Yosh menjemputku ke terminal bus, aku ke rumah dia untuk waktu yang aku sendiri tak tahu sampai kapan.


“Capek?” tanya Yosh saat aku merebahkan tubuhku di tempat tidur di kamarnya. Aku hanya tersenyum menjawab tanya dia, capek badanku tak kan terasa jika hasilnya nanti sesuai dengan yang aku harapkan.


“Tidurlah dulu, mungkin ntar siang atau sore dia bisa kesini,“ lanjut Yosh.


“Emang kamu dah ngasi tau dia kalau aku mau kesini?” tanyaku.


“Ga sih, aku Cuma nyuruh dia main kesini aja, kalau jadi dia pulang malam ini ke Yogya.”


“Cepat banget, dia baru datang kemarin kan?”


“Malas berlama-lama disini, kata Nona. Dia akan selalu terkenang ma orang gila yang mengaku sahabatnya tapi membuatnya jatuh cinta.”


Yosh mengelak saat bantal yang kulempar ke dia menyerbu kepalanya. Dia membalas dengan melempar handuk dan memberi isyarat padaku untuk ke kamar mandi. Mungkin dia sudah tidak tahan dengan bau bus yang menempel di tubuhku.


Setelah mandi aku langsung ditarik menuju meja makan untk sarapan. Keluarga Yosh memang seperti keluargaku sendiri, orang tuanya pun sudah mengganggap aku sebagai anaknya. Walaupun kadang aku masih sok ga enak aja, akhirnya aku habis dua porsi piring berhubung aku lupa untuk mengisi perutku semalam.


Siang itu aku coba menghabiskan waktu untuk tidur siang, tapi waktu sekana berjalan lambat menuju sore. Yosh telah berangkat kerja pagi hari setelah kami sarapan, tapi dia bilang dia akan pulang cepat demi menemui aku dan Nona. Sahabatku yang satu ini emang baik banget deh.


Setelah berusaha keras untuk memejamkan mata, tanpa kusadari aku memang terpejam untuk beberapa saat, akhirnya badanku menyerah kalah dan minta istirahat. Aku terbangun saat Yosh keluar dari kamar mandi di sore harinya.


“Jam berapa nih?” tanyaku padanya.


“Masih siang, tidur aja lagi.” Jawabnya pendek.


Sekilas aku melihat jam dan terkejut karena hari sebenranya telah sore. Namun keterkejutanku semakin bertambah saat aku keluar dari kamar dan melihat sesosok wanita sedang duduk sendiri membelakangiku di ruang keluarga di depan kamar Yosh.


Nona.


Aku tertegun beberapa saat, apalagi saat Nona memutar kepalanya ketika derit pintu kamar yang pelan ketika kugeser untuk lebih terbuka terdengar oleh telinganya. Dia tersenyum, senyum yang bagiku bisa menghentikan waktu dan merelakan apapun untuk mendapatkannya.


“Hai,” sahutnya beranjak dari tempat duduknya.


“Hai juga, apa kabar?” Aku masih tak bergerak.


“Baik,” jawabnya. Langkahnya mendekatiku dan aku benar-benar tak bisa berpaling dari senyumnya, terlalu merindukannya.


"Sudah bangun?" lanjutnya. Aku menganggukkan kepala.


Dia kini telah berdiri tepat di depanku dengan tatapan yang tak bisa kulukiskan keindahannya, tapi tak lama karena ucapanyang keluar selanjutnyanya membuyarkan lamunanku.


“Gimana kalau kamu sekarang mandi biar ga bau dan pakai baju yang benar terus temui aku di ruang tamu, ya?”


Aku baru sadar jika aku keluar dari kamar dalam keadaan topless. Bergegas aku kabur ke belakang dengan muka bersemu merah sambil menahan dongkol mendengar ketawa Nona & Yosh melihat tingkahku.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar