13 Maret 2011

[Red Rose] Mawar Merah

Chapter 3: Mekar Sejenak
by Dii Ann Choco on Monday, April 13, 2009 at 1:45pm


Akhirnya cerita persahabatanku dan Nona pun berubah. Entahlah, apa ini memang tujuan perjalanan hidupku? Setidaknya ceritaku dan dia telah berubah setelah 7 tahun.

Setelah malam itu aku jadi sering telpon-telponan dia, walaupun suasananya kaku banget. Sering kami jadi terbahak-bahak saat salah satu dari kami mengucapkan kata rindu, masih sangat menggelikan. Tapi topik kami masih tak jauh dari ‘kebodohan’ yang selama ini kami lakukan. Aku yang tak pernah takut untuk menyatakan cinta pada perempuan manapun malah memendam perasaan sekian tahun, begitu pun dia yang sering ku ledek sebagai ‘playgirl’ ternyata masih mampu menyimpan rasa, padahal aku dan dia jenis orang yang sama, tak pernah bisa menyimpan sesuatu terlalu lama.

Lalu aku dan dia pun sama-sama me’mutus’kan pacar kami masing-masing. Aku menceritakan semuanya pada Gia. Aku ga mau bohong padanya, karena dia dalam hal ini adalah pihak tidak bersalah. Aku mohon maaf di sela-sela tangisnya yang tak lama karena dia mengerti bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Gia justru mendoakan yang terbaik untukku. Kami putus baik-baik. Akhir-akhir ini aku baru mengetahui bahwa Gia masih mencintaiku selama bertahun-tahun sampai akhirnya dia menerima pinangan orang lain tahun lalu.

Beberapa hari setelah aku mengantar Nona adalah pengumuman ujian masuk masuk perguruan tinggi negeri. Aku sudah merencanakan untuk bangun pagi-pagi buta untuk membeli koran dan menelponnya saat dia mungkin masih tidur. Aku ingat betul hari itu adalah hari Sabtu. Tapi satu hari sebelumnya di hari Jumat pagi aku mendapat telepon dari seseorang yang belum aku kenal.

“Ya ampun, aku kan sudah bilang kamu emang belum kenal ma aku, dodolz! Aku Rinda, sobatnya Nona di Yogya,” suara cewe di seberang telepon menjelaskan.

“Oh, aku pikir siapa,” sahutku. “Ada yang bisa aku bantu Rin?”

“Kamu lagi sibuk ga? Kalo ga lo berangkat ke Yogya ya?”

Aduh, ada apa ini? Aku langsung menjadi cemas ada apa-apa dengan Nona. Rinda menjelaskan panjang lebar maksudnya. Walaupun aku belum pernah ke Yogyakarta, aku mengiyakan saja saat Rinda berkata akan menungguku besok pagi di terminal bus Yogyakarta.

Sore harinya aku berangkat ke Yogyakarta. Perjalanan dari kotaku hampir 12 jam, pasti ini akan melelahkan. Sekitar jam 5 pagi keesokan harinya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. Aku harus menunggu 2 jam sampai si Rinda menjemputku, dan 45 menit menggunakan bus kota dan angkutan umum menuju kosnya Nona. Capek.

Akhirnya aku sampai setelah tak lupa aku mampir ke kios bunga untuk membeli sekuntum mawar merah. Aku lihat Nona sedang meringkuk di bawah jendela kamarnya sembari menangis, dia gagal lagi. Ini adalah rencana yang Rinda sampaikan sehari sebelumnya, sebuah kejutan bagi Nona dalam menghadapi pengumuman ujian masuk. Kalaupun lulus ada aku yang akan tertawa bersamanya, ataupun ketika gagal seperti saat ini ada aku yang akan menghiburnya.

“Aku kan sudah bilang jangan ada yang ganggu aku!” teriak Nona saat mendengar langkah kakiku.

Dia belum tahu kalau yang datang adalah aku.

“Aku ga mau mengganggu, hanya ingin disini menemanimu menangis, seperti biasanya aku selalu ada saat kamu menangis,” bisikku di telinganya sambil meletakkan bunga mawar merah di meja di depannya.

Isaknya berhenti. Perlahan dia mengangkat kepalanya melihat mawar yang menggeletak di depannya dan melihatku di sisinya. Tangannya mengusap matanya beberapa kali sampai dia yakin bahwa aku memang ada disitu, lalu dia menghambur memelukku. Tangisnya kembali meledak.

“Loh, napa tambah nangis?” ujarku sambil membelai rambutnya.

Sekilas aku lihat si Rinda melongok ke dalam dan tersenyum senang.

“Kamu…, kamu ngapain disini?” Tanya dia terbata sambil mengusap air matanya.

Aku tersenyum dan melepas pelukannya.

“Kan aku dah bilang tadi disini mo nemenin kamu,” jawabku.

Aku lihat Nona tersenyum disela-sela bekas air matanya.

Hari itu setelah beristirahat Nona mengajakku berkeliling kota. Jalan-jalan di antara kaki lima Malioboro, menyusuri bangunan-bangunan tua keraton Yogyakarta, dan malamnya nongkrong di lesehan di dalam alun-alun kidul keratin Yogyakarta. Aku menikmati perjalanan bersamanya sambil selalu mengalihkan perhatiannya tentang pengumuman ujian masuk.

Keesokan harinya setelah dia tenang aku tanyakan rencananya ke depan, apakah dia mau menunggu satu tahun lagi demi S1 di UGM atau mencoba perguruan tinggi swasta. Tapi Nona tetap memilih untuk kuliah tahun ini di UGM, jadi kami ambil jalan tengah agar Nona mendaftarkan D3 di UGM yang nantinya bisa diteruskan ke S1.

Aku dan dia pun mulai hunting informasi tentang D3 UGM, mengenai semua administrasi dan persyaratan-persyaratan. Setelah 3 hari di Yogyakarta aku lihat Nona sudah jauh lebih baik, sudah mempunya rencana ke depan dan mempersiapkan diri untuk mengkuti ujian masuk Diploma. Aku pun pamit untuk kembali ke kota tempatku kuliah untuk daftar ulang.

Ternyata aku dan dia tak tahan lama-lama berpisah dari dia. Setiap hari kami selalu saling menghubungi lewat telepon. Dan belum sebulan aku kembali berangkat ke Yogyakarta, dan setelah itu, dan setelah itu. Aku menemani dia untuk tes D3 UGM, kembali lagi ke Jawa Timur, kemudian kembali lagi ke Yogyakarta untuk merayakan keberhasilannya menempuh ujian D3 UGM, lalu disampingnya saat dia dalam masa orientasi kampus, dan selalu kembali lagi. Aku sendiri heran kenapa badanku kuat menempuh perjalanan 12 jam menggunakan bus atau kereta api sesering itu.

Tak terasa telah 1 semester aku lalui bersamanya. Aku menjemputnya untuk pulang ke daerah asal kami. Di sana aku dan dia bertemu kembali dengan Dina dan Yosh. Kembali kami berempat berkumpul walapun keadaannya sudah sedikit berbeda. Tapi sebenarnya aku tahu kalo mereka, Dina dan Yosh, sudah tak asing lagi dengan kebersamaanku dan Nona. Toh sebelum ada apa-apa aku memang selalu berpasangan dengan Nona.

Suatu ketika Nona mengunjungiku. Dia yang memang sudah kenal dengan keluargaku bercengkrama dengan keluargaku. Tak terasa waktu berjalan cepat sekali sampai dia baru sadar bahwa hari telah sore dan Nona pun pamit untuk pulang.

Keesokan harinya aku menelponnya tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali aku menghubungi dia tapi tidak ada respon. Aku mencoba menelpon ke rumahnya tapi dia selalu tidak ada. Bahkan saat aku datangi ke rumahnya pun dia selalu sedang keluar, entah itu adalah yang sebenarnya atau hanya alsan saja. Aku kebingungan.

Keesokan malamnya Dina menelponku mengatakan bahwa Nona ada di rumahnya. Aku langsung memacu motorku menuju rumah Dina. Disana kulihat Nona dengan matanya yang sembab. Ada apa ini? Batinku bertanya-tanya.

“Aku ingin mengakhiri hubungan kita,” ujar Nona sesaat setelah Dina meninggalkanku berdua dengan Nona.

“Mm.. ma.. maksudmu?” tanyaku tercekat.

“Aku minta maaf, aku terlalu mencintaimu. Aku terlalul mencitaimu sampai mengalahkan cintaku pada orang tua. Bersama denganmu membuatku lupa pada apapun yang lainnya,” ujarnya lagi.

“Aku ga ngerti..” sahutku lirih.

“Kemarin waktu di rumahmu aku minta ijin Papa untuk keluar sebentar, tapi ternyata bersamamu membuatku lupa waktu. Kamu tau kan kalau aku anak kesayangan Papa? Papa mencari-cariku, sedangkan aku lupa ga bawa handphone. Papa bingung...” dia mulai terisak.

“Kamu kena marah?” tanyaku pelan.

Dia menggeleng.

“Aku akan lebih senang jika Papa marah,” jawabnya sambil mengusap matanya yang mulai merah. “Tapi bukan itu yang terjadi, jantung Papa kumat dan dia dibawa ke rumah sakit kemarin. Semua karena aku!”

“Tapi kenapa harus putus, Non? Kalaupun orang tuamu marah padaku, oke kita bisa berjauhan untuk sementara saling intropeksi. Tapi kalau hanya karena ini kita putus, ini sama sekali ga fair buat aku, Non, kamu tau aku selalu ada untukmu kan?”

“Aku tau! Dan kamu benar, kamu ga salah. Ini hanya tentang aku, tentang aku yang terlalu mencintaimu,” sahutnya di sela genangan air matanya. “Aku mungkin naïf banget karena mengakhiri semuanya bersamamu hanya karena itu. Tapi ini adalah Papa, orang yang paling aku cintai melebihi apapun. Maafkan aku...”

Nona beranjak pergi meninggalkanku yang masih terdiam tak percaya. Sesaat aku dengar suara Dina memanggilnya saat Nona menghidupkan motor dan pergi meninggalkan rumah Dina. Tak lama kemudian Dina muncul di hadapanku dan menjawab tatapan tanda tanya besar di mataku padanya dengan mengangkat bahu.

Dengan lemas aku kembali pulang tanpa semangat.

Tapi bagiku ini belum berakhir. Aku mencoba menghubungi Nona kembali tapi tak pernah bisa. Keesokan harinya Yosh menelponku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, aku tak mampu menceritakannya. Dari Yosh aku tahu bahwa Nona mengganti jadwal pulangnya kembali ke Yogyakarta lebih cepat dari seharusnya, malam ini. Aku menjadi patah arang mendengar kabar itu, berarti Nona memang telah yakin untuk meninggalkanku.

Sorenya Yosh mengundangku untuk datang ke rumahnya karena orang tua Yosh punya hajatan. Hanya demi menghormati orang tua Yosh saja aku datang. Yosh pun tak banyak tanya saat melihat wajah murungku, pasti Nona telah menceritakan semuanya pada dia. Aku pun tak banyak bicara.

Merupakan kebiasaan adapt-istiadat di tempatku untuk mengantarkan sebagian konsumsi dari hajatan ke tetangga-tetangga atau orang-orang terdekat. Demikian juga Yosh setelah acara mengajakku untuk mengantar makanan hajatan ke beberapa kerabat terdekatnya. Menggunakan motor aku membantunya membawa makanan tanpa banyak bicara. Yang ada di otakku saat itu hanya Nona dan Nona. Setelah beberapa kali hilir mudik aku tak menyadari bahwa Yosh membawaku ke suatu tempat yang tak pernah aku duga.

“Sekarang juga kamu pergi kepadanya, tadi aku liat mobil papanya meninggalkan sini, berarti keluarganya dah balik pulang,” ucap Yosh membuyarkan lamunanku. Aku terlongo kaget saat sadar aku telah berada di dalam terminal bus malam keberangkatan ke Yogyakarta.

“Apa-apaan kamu Yosh?!” tanyaku kaget.

“Udah cepet sono, 5 menit lagi busnya jalan!” Yosh menarikku turun dari motor dan mendorongku menuju ke bus.

Aku tak tahu apa yang ada di otak yosh, memang terkadang anak itu penuh dengan kejutan.

Aku cepat-cepat naik ke atas bus, baju adat yang masih aku pakai sempat menyusahkanku. Aku segera mencari Nona yang ternyata duduk di bagian tengah.

“Non..!” panggilku mengagetkan dia.

Nona tersentak dari lamunannya memandang keluar jendela dan menatapku tak percaya, mungkin karena keberadaanku atau karena pakaianku, entahlah.

“Kok balik ga bilang-bilang?” tanyaku mengambil posisi duduk di sebelah dia.

“Haruskah?” jawab Nona tenang sambil tersenyum.

Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya mengacak-acak rambutnya saat dia menjawab pertanyaanku dengan sebuah tanya juga. Tapi kali ini mungkin aku lebih baik menahan diri.

“Ya setidaknya aku ga akan kehilangan kamu banget jika kamu kasi tau,” jawabku sekenanya.

Lagi-lagi dia menjawab tersenyum.

Bus beranjak bergerak dari diamnya, aku mulai panik, waktuku telah habis.

“Non,” panggilku lirih sambil mengambil tangannya dan menggenggamnya erat. “Aku tau ini berat untukmu, tapi tolong jangan tinggalkan aku dengan keadaan putus begini. Kamu tau aku mencintaimu, melebihi apapun. Kamu tahu kebersamaan kita adalah segalanya bagiku, aku…” ucapanku terpotong saat jari telunjuk Nona ditempelkan berdiri di depan bibirku.

Nona tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “maafkan aku,” sahutnya pelan.

Aku bagaikan terhempas jatuh. Aku merasa sendiri tanpa siapa-siapa. Bahkan tak kuhiraukan omelan sopir bus saat aku minta dia menghentikan busnya untuk menurunkanku. Entah berapa lama aku terdiam hingga tak merasakan bus malam yang membawa Nona menghilang di kegelapan malam atau kedatangan Yosh yang mati-matian mengejar bus dengan motor dan makanan-makanan yang harus dia antar.

Yosh hanya merangkulku dan tak banyak bicara. Bahkan malam itu aku menghabiskannya bersamanya dengan hanya diam, merokok, dan diam.

Apakah hidup senaif ini?

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar