13 Maret 2011

[Red Rose] Mawar Merah

Chapter 9: Menyemi
by Dii Ann Choco on Monday, July 27, 2009 at 3:29pm

 
Sakit akibat pengkhianatan yang aku rasakan sebenarnya sudah tak bisa lagi kuungkapkan dengan kata. Semua kata yang mungkin bisa kugunakan untuk melukiskannya takkan mungkin dapat menggambarkan keseluruhan hancurnya hatiku. Hancur, remuk, bahkan sampai berkeping atau menjadi abu pun tak bisa melebihi perasaanku. Hidupku benar-benar terasa kosong tanpa arti.

Aku mencoba untuk tak pernah memikirkannya lagi.


Tapi apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan saat hati ini dengan mudahnya teringat pada dirinya? Padahal setiap benda yang mengingatkannya tentang dia aku buang, aku bakar, atau aku simpan rapat-rapat pada sebuah kotak kayu yang aku kunci rapat, aku segel dengan perekat plastik yang besar dan aku letakkan di tempat yang hampir tidak mungkin membuatku punya keinginan untuk mengambilnya.


Sekali lagi, aku tetap tak berdaya ketika situasi dan keadaan membuatku mengingatnya lagi. Bagaimana aku bisa mencegah jatuhnya air hujan setelah panas meranggas yang menimbulkan sensasi bau pasir panas yang mengingatkan aku pada Nona saat kami berhujan-hujan? Atau bagaimana aku menutup telingaku ketika berada di tempat keramaian terdengar lagu Bed of Rosesnya Bon Jovi yang mengingatkanku pada Nona saat kami menikmati harumnya bunga mawar? Apakah aku harus terus berlari dari kenyataan yang ada ini?


Ah, menyebalkan...


Kenanganku tantang dirinya masih terus berlarian di benakku walaupun aku tak mau memikirkannya. Harum wangi parfumnya masih terus tercium di rongga hidungku walaupun aku tak mau lagi menikmati wanginya. Kehangatan belaiannya masih terasa di ujung rambutku walaupun aku tak mau lagi merasakannya.


Dan keadaan ini semakin hari semakin menggila. Dibalik kokohnya diriku sebagai lelaki semakin kusadari aku justru hanya menahan rasa cengengku yang sangat manusiawi, dan ini aku akan membuatku menjadi gila. Aku harus bisa mengatasinya!


Akhirnya setelah beberapa hari aku berbicara dengan diriku sendiri, malam itu itu aku pun memutuskan untuk menantang memoriku. Aku membongkar kenanganku tentang Nona, membuka kembali lembaranku tentangnya, melihat kembali tulisan-tulisan mungilnya pada surat-surat yang pernah dia kirim yang memang tidak aku musnahkan bersama barang-barang lainnya.


Memainkan lagi lagu-lagu tentangnya di CD Playerku kencang-kencang, menghentak-hentak gendang telingaku, mengiris-iris hatiku membayangkan dirinya.


Tertawa terbahak-bahak membaca tulisan suratnya yang menceritakan saat-saat kami berdua bersama dalam kebahagiaan, ataupun meneteskan airmata sederas-derasnya saat mengingat dia tak lagi ada disampingku. Meluapkan perasaan dan emosiku secara mendalam.


Aku keluarkan emosiku, aku tumpahkan semuanya...


Aku lelah kan hatiku sampai aku terkapar terlelap keesokan harinya.


Dan aku benar!


Keesokan harinya otakku jauh lebih jernih. Logika bisa berjalan lebih baik dari pada kemarin, mengalahkan hati nuraniku yang terlalu cengeng dengan selalu mengingat tentangnya.


Compact Disc yang tak bosan semalaman memutar memainkan lagu-laguku bersama Nona tak lagi banyak memberikan dampak karena telingaku sudah terbiasa setelah semalaman suntuk mendengar lagu-lagu yang itu-itu saja. Memori yang biasanya timbul dari dentingan alat musik yang menggambarkan dirinya kini mulai kabur dari pandanganku.


Bahkan aku bisa membereskan barang-barang tentang Nona dengan jauh lebih tenang, merapikan dan meletakkannya di kotaknya kembali tanpa perlu bersusah payah menyegelnya.


Aku harus menghadapinya, tak boleh aku terus berlari.


Aku mencintainya, tapi aku tak boleh tetap begini.

Kepp Fighting, Man!!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar