13 Maret 2011

[Red Rose] Mawar Merah

Chapter 4: Bertahan Sebelum Layu
by Dii Ann Choco on Tuesday, April 21, 2009 at 11:44am


Yang aku aku tahu selanjutnya adalah kekosongan hati serasa hidupku hampa.

Aku kembali ke kota kuliahku lebih cepat dari yang aku rencanakan. Seribu tanya dari keluargaku atas keputusanku untuk kembali lebih cepat tak kuhiraukan lagi. Untuk saat ini kota ini terlalu mengingatkan tentang Nona, masih terlalu menyakitkan.

Rumah kosku masih sepi dari penghuninya saat aku menginjakkan kaki di kota ini. Hanya beberapa teman kos yang jarang ada karena mengisi liburan semester mereka dengan program semester pendek, entah untuk mengejar ketinggalan mata kuliah mereka, atau untuk memperbaiki nilai dengan mengulang mata kuliah yang telah di tempuh. Tapi yang pasti kedatanganku kali ini tak berpengaruh pada kesibukan mereka, walaupun dari wajah mereka sering muncul tanda tanya kemanakah keceriaan yang biasanya terpendar dimukaku.

Hari-hariku terlewatkan hanya berada di dalam kamar kos, ditemani lagu-lagu metal yang memekakkan telinga sebagai pelampiasan emosi, untung kosku masih sepi jadi aku bisa putar dengan volume maksimal, dan berbatang-batang rokok yang terasa teramat sangat cepat habis. Tebalnya asap rokok di kamar kosku yang pengap ini mungkin sudah cukup untuk membuat noda permanent di paru-paru.

Baru setelah satu minggu aku melangkahkan kaki keluar dari halaman rumah kosku. Mencoba lebih rileks menikmati kampus yang belum penuh sesak seperti biasanya. Suasana sore yang masih sepi karena tak ada kuliah semester pendek membuatku bisa menikmati rindangnya pohon-pohon yang mengelilingi kampusku. Duduk sendiri di lantai paling atas sambil merokok menikmati gemerisik daun-daun pepohonan tak jauh dari sana, melihat burung-burung yang sesekali berterbangan berkejaran seakan mereka tak ada beban. Mungkin dari sisi inilah aku seharusnya melihat hidup ini.

Beberapa hari kemudian waktu untuk registrasi ulang dimulai. Seperti biasa tak banyak mahasiswa yang mendaftar ulang-kan dirinya di awal-awal waktu, jadi suasana masih lenggang dan prosesnya pun bisa cepat. Saat-saat itu aku bertemu dengan salah satu teman kampusku namun berbeda jurusan, namanya Amy. Dia anak Jakarta, cerewet, selalu ceria dan yang aku suka dari dia adalah selalu berpikiran positif. Dia juga anak pecinta alam, entah telah berapa kali dia mendaki menuju puncak gunung teringgi di Jawa yang selama ini aku impikan.

Aku sempat kaget juga saat bertemu Amy di kampus karena dia adalah mahasiswa yang tipenya sepertiku, melakukan register ulang di saat-saat terakhir agar bisa lama di kampung, atau bahkan kalau bisa titip pada teman agar bisa lebih lama lagi walaupun terlambat untuk memulai kuliah. Akhirnya aku tahu jawaban atas pertanyaanku, setelah dia cerita bahwa kedatangannya yang lebih cepat dari biasanya karena dia baru putus dengan pacarnya yang sudah jalan dengannya selama 5 tahun. Kondisi yang sama denganku.

Mungkin karena itulah aku dan Amy jadi saling menghibur satu sama lain, saling bercerita tentang mantan-mantan, moment-moment, dah saling menopang saat salah satu down ketika mengingat mereka. Mereka, orang-orang yang mematahkan hatiku dan Amy.

Lebih dari 1 bulan tanpa terasa kebersamaanku menjadikan aku dekat dengan Amy. Walaupun Nona masih ada di dalam hatiku, tapi Amy telah mengisi ruang kosong yang lain. Aku paling benci pada pelarian perasaan, oleh karena itu dengan penjelasan bahwa aku akan belajar mencintainya, aku meminta Amy menjadi kekasihku. Waktu itu tanggal 9 Maret malam aku mengungkapkan perasaanku pada Amy sejujurnya. Aku tak memaksanya jika dia masih belum melupakan mantannya, tapi jika dia menjawab iya maka aku akan merapikan lagi puing-puing hatiku yang berserakan bersamanya. Dan Amy pun menjawab iya.

Esoknya, 10 Maret, aku bangun kesiangan setelah semalam aku memikirkan tindakanku menembak Amy. Dengan mata yang masih setengah terpejam aku membuka pintu kamar kosku yang ada di lantai 2, sinar matahari yang sudah tinggi membutakan mataku untuk sesaat. Setelah aku terbiasa dengan sinar matahari aku terkejut melihatnya, Nona berlutut di depan pintu kamarku sembari memegang mawar merah.

Aku terdiam.

Kulihat senyum manisnya tersungging di wajahnya yang pucat. Pucat? Ya dia pucat sekali. Dengan cepat setelah sadar aku merengkuhnya untuk berdiri dan menuntunnya masuk ke kamaku. Segera aku ambilkan segelas air putih untuknya. Setelah minum tampak dia menghela nafas panjang. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya, sebuah kaset. Aku menerimanya dr tangannya yang menjulur dan memutarnya ke dalam tapeku.

Anyer 10 Maret, Slank.

“Please back to me…” ujarnya lirih sambil memberikan mawar yang dari tadi tak dilepasnya, ditemani suara Kaka Slank yang memainkan emosi dengan lagu itu.

Aku menerima mawar dan meletakkan di atas meja.

“Kamu kecapekan, istirahat aja dulu,” jawabku. Dia merebahkan badannya ke atas tempat tidur. Aku duduk di samping tempat tidur sambil membelai rambutnya. Dia memiringkan badannya memandangku dengan tatapan rindu yang seakan tak pernah ada habisnya. Perlahan matanya pun terpejam dan terlelap dalam capeknya didiringi lagu Slank yang masih terlantun dari tape bututku.

Aku memandangnya terlelap dalam tidur, mencoba mengerti apa yang dia lakukan. Menempuh perjalanan dengan bus malam selama 12 jam dari Yogyakarta bukanlah hal yang mudah baginya, tampak tak ada persiapan dan sendirian. Terbayang olehku perang batinnya untuk kesini sampai akhirnya dia memutuskan untuk berangkat menjemput belahan jiwanya.

Aku biarkan dia istirahat. Aku turun untuk mandi dan merapikan diri. Keluar sebentar untuk membeli makanan untuk Nona. Saat aku kembali aku lihat Nona sudah bangun dan sedang melihat-lihat keadaan kamarku yang acak-acakan. Dia tersenyum saat melihat surat-suratnya yang aku susun rapi di rak paling atas mejaku, potongan-potongan kata-katanya di surat yang aku tulis rapid an aku temple di lemariku sebagai penyemangatku. Tapi matanya masih berputar mencari sesuatu.

“Foto kita sudahku lepas, Non, ada di dalam lemari,” jawabku menjawab apa yang dia cari. Dia tersenyum mendengar jawabanku.

“Kok kamu tahu aku mencari itu?” tanya dia menerima piring makanan yang aku berikan padanya.

“Kita kan cermin,” jawabku sekenanya mengutip ungkapannya tentangku dan dia.

Dia terbahak.

“Hmmm, boleh aku mandi dulu sebelum makan?” tanya dia setelah meletakkan makanan di mejaku.

“Kenapa ga? Aku pikir kamu bakalan betah makan dengan badan bau begitu,” jawabku menghindari cubitan dia yang mengejarku setelahnya.

Rumah kosku memang kos untuk para mahasiswa dan sebenarnya cewek tidak boleh masuk ke kamar walaupun pemiliknya tidak tinggal di sini. Tapi sebagian teman-teman kosku sudah mengenal Nona walaupun hanya dari telepon dan cerita-ceritaku, jadi ketika Nona datang subuh tadi mereka tak keberatan Nona menungguku di depan pintu kamarku. Bahkan tidak ada komentar apa pun saat Nona numpang mandi, entah mereka memang mengijinkan atau karena tidak enak denganku. Masa bodoh deh dengan semua itu.

Tapi sebenarnya yang berkecamuk di hatiku adalah bagaimana semua ini bisa terjadi? Baru semalam aku meminta Amy untuk menjadi pacarku, pagi ini Nona sudah ada di depan mataku. Bagaimanapun aku masih mencintai Nona.

Aku menanyakan kabarnya dan teman-temannya saat aku dan Nona mulai makan di beranda depan kamar kosku. Dia menjawab baik, juga tentang kuliahnya. Cerita-ceritanya pun mengalir dari mulutnya, keriangannya yang selama 2 bulan ini aku rindukan. Setelah makan sesekali aku mengacak rambutnya saat dia meledekku dengan cerita-cerita laluku. Sungguh kali ini aku benar-benar merasakan kerinduanku padanya yang selama ini tak terungkapkan.

Kulihat sebuah gitar milik teman kosku tergeletak di beranda itu. Aku mengambilnya saat aku membuang batang rokok yang habis ku hisap. Sesuai dengan request Nona aku memetik senar gitarnya mengalunkan nada-nada lagu hari itu, Anyer 10 Maret, lagi-lagi tentang lagu ini.

Aku lihat matanya berkaca-kaca sambil menyanyikan lagu itu. Sampai saat itu aku memang belum membahas permintaannya untuk kembali padaku, biarkan dulu Nona menenangkan diri. Setelah ini saat hatinya sudah enak dia pasti akan menanyakanku kembali, atau aku yang akan memulainya jika dia tak juga bicara tentang itu. Lagipula aku masih bingung bagaimana cara mengungkapkan padanya bahwa dia terlambat. Pasti akan sakit sekali. Entahlah.

Tapi tiba-tiba hal yang tak terduga kembali terjadi.

Amy datang.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar