Chapter 2: Bersemi
by Dii Ann Choco on Saturday, April 11, 2009 at 9:34am
Sekelas kembali bersama Nona kembali menjadi tidak istimewa seiring berjalannya waktu. Seperti biasa dia kembali sibuk dengan petualangan pacar-pacarnya, begitu juga aku. Walaupun terkadang aku dan Nona bersenda gurau di kelas, tapi kami tak pernah lagi membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi.
Waktu itu hari Valentine, aku sedang berpacaran dengan anak dari kelas Sosial yang cantik, sampai Nona pun pernah menyatakan bahwa dia iri pada kecantikan pacarku. Hari itu sebenarnya tidak ada yang spesial walaupun Valentine-an. Di kota sekecil ini tidak akan berpengaruh banyak pada hal-hal seperti itu. Tapi aku ingin memberikan sesuatu sebagai kado untuk pacarku, seperti halnya beberapa temanku yang memberika sesuatu pada pacarnya.
Aku lupa bagaimana awalnya, aku berbicara dengan Nona tentang hari itu dan kami pun sepakat untuk keluar dari sekolah selama beberapa jam. Tahukan apa yang aku lakukan dengan dia? Kami hunting mawar. Bukan membeli, tapi benar-benar hunting mawar di kebun orang. Nona telah menyiapkan diri dengan sebuah gunting dan tas plastik hitam, kami berputar-putar kaluar masuk kompleks. Setiap kali ada rumah yang mempunyai taman atau kebun mawarnya kami berhenti sejenak untuk menggunting bunga mawarnya, tanpa minta ijin empunya tentunya.
Ya, hari itu yang aku lakukan dengannya adalah mencuri bunga. Bahkan ketika ada bunga mawar putih yang letaknya di depan sebuah toko, Nona berpura-pura beli permen untuk mengalihkan perhatian agar aku bisa memetik bunga-bunga mawar dan memasukkan ke dalam tas plastik dengan cepat. Hampir 2 jam aku dan dia berhasil mengumpulkan 1 tas penuh dengan bunga mawar. Aku memilih rangkaian mawar putih untuk pacarku, sedangkan selebihnya untuk Nona dan teman-teman lainnya. Dari situ aku tahu bahwa Nona menyukai mawar yang berwarna merah darah, menyukai bentuknya yang anggun walaupun mawar jenis itu wanginya tidak terlalu harum.
Selain itu tak banyak interaksiku dengan Nona. Dia sudah memiliki sahabat-sahabat lain yang aku sendiri tak berminat untuk mengakrabi mereka. Akibatnya aku dan Nona pun sudah tak lagi seperti sahabat apalagi sebagai saudara seperti dulu. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh, melepas kerinduanku dengan melihatnya.
Suatu hari menjelang kelulusan sekolah saat diadakan lomba antar kelas dia mendatangiku. Waktu itu aku sedang tidak enak badan dan sendiri saja di dalam kelas, saat tiba-tiba Nona lewat di depan kelas dan melihatku kemudian mendatangiku.
“Ngapain di dalam sendirian?” Tanya dia.
“Ga papa, lagi males aja ngumpul,” jawabku pendek. Dia duduk di kursi de depan mejaku menghadap ke belakang ke arahku.
“Lama ya kita ga ngobrol-ngobrol lagi seperti dulu” ujar dia pelan. Terkesiap aku mendengar ucapannya. Selama ini aku pikir dia sudah benar-benar melupakan aku.
“Ho-oh,” jawabku. “Kamu selalu sibuk dengan teman-temanmu sih,” lanjutku.
“Jangan mulai deh,” sahutnya cepat, “kamu sih ga pernah bisa ngumpul dengan teman-temanku, padahal kamu tau aku ga akan bisa milih di antara kalian.”
“Maaf, kamu mengenalku seperti apa kan.”
Aku menikmati saat-saat seperti ini. Menatap wajahnya dari dekat. Tiba-tiba dia menoleh saat salah satu temannya memanggilnya dan beranjak meninggalkanku. Piuhhh, seperti setetes air dingin yang jatuh di atas tenggorokanku yang dahaga, segar tapi aku tak cukup untuk menikmatinya.
Pelulusan sekolah berlangsung seperti biasanya. Aku dengar Nona ingin melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi di Yogyakarta, kota idamannya selama ini. Sedangkan aku ingin tidak terobsesi dengan kota manapun kecuali dengan hal-hal yang berbau Internasional. Aku mendaftarkan diri ke salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur dan di terima melalui ujian masuk perguruan tinggi, sedangkan Nona aku dengar tidak lolos. Perlahan aku coba menetralisir perasaanku yang berlebihan kepada Nona dengan sedikit demi sedikit melupakannya. Tidak mau tahu dengan kabar apapun yang terjadi padanya.
1 tahun di perguruan tinggi pun berlalu. Aku jarang sekali pulang ke daerah asalku. Aku tak lagi dengar cerita-cerita tentang Nona. Kalaupun ada kabar hanya cerita-cerita sekilas dari Yosh yang masih terus berhubungan dengan Nona dan Dina. Yosh tidak melanjutkan sekolah karena masalah ekonomi, sedangkan Dina kuliah di perguruan tinggi negeri paling bergengsi di Surabaya. Yosh menjadi orang terdekat bagiku. Tadinya dia sering sekali meledekku punya perasaan pada Nona, tapi akhirnya cape sendiri dengan pengingkaranku.
Saat liburan semester tahun pertama aku pulang ke rumahku melepas kerinduan pada keluarga. Yosh menelponku mengajakku keluar. Ternyata dia mengajakku untuk berkumpul kembali bersama Nona dan Dina, dia kangen katanya.
Kerinduan pecah saat kami berempat berkumpul. Senda gurau dan cerita-cerita silih berganti meramaikan suasana. Aku pun melepas kerinduanku pada Nona dan kedua sahabatku yang lain, betapa menyenangkan. Kemudian aku puny aide untuk melakukan hal-hal berempat seperti yang kami lakukan dulu. Namun sayang Nona menjawab tidak bisa karena dia akan kembali ke Yogyakarta keesokan harinya untuk mempersiapkan diri masuk dalam perguruan tinggi negeri setelah ikut ujian masuk untuk kedua kalinya. Walaupun pengumuman masih 1 minggu lagi, tapi Nona yakin dia akan lolos dalam ujian masuk kali ini.
Akhirnya malam itu kami bertemu kangen lalu berpisah kembali sambil mengucapkan selamat jalan.
Keesokan harinya setelah memikirkan masak-masak aku mendatangi Nona lagi untuk menyerahkan buku agendaku waktu sekolah SMA. Isinya sebenarnya adalah aktivitasku waktu sekolah, tapi ga sedikit juga tentang pertanyaan dari perasaanku pada Nona. Entah kenapa saat itu aku merasa Nona berhak tahu walaupun itu sangat beresiko pada hubungan persahabatan kami yang sedang membaik.
Sore harinya Nona menelponku dan menyuruhku datang ke rumahnya untuk sekali lagi bertemu sebelum dia berangkat. Bersama Yosh aku datang kesana, dan lagi-lagi kami hanya bercanda. Aku sempatkan untuk bertanya pada Nona jam keberangkatan bus malamnya, dia menjawab dengan tanya balik padaku apakah aku mau mengantarnya. Aku jawab kalau hanya sampai Surabaya aku mau, eh ternyata dia senang sekali dan langsung menyiapkan diri. Yosh tertawa terbahak karena dia tahu bahwa aku sebenarnya tidak serius dengan perkataanku, apalagi melihat mukaku yang masih bengong melihat Nona mengeluarkan ransel dan tasnya langsung menyiapkan diri untuk berangkat.
Yosh masih tertawa terbahak melihat mukaku yang masih bengong saat dia mengantarku dan Nona ke terminal Bus. Kali ini Nona benar-benar mengerjaiku, dengan tampang cueknya dia pamitan pada Yosh dan menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya. Bus pun mulai berjalan menembus malam dengan penumpang yang hanya terisi dua per tiga.
Perjalanan ke Surabaya dari daerahku memakan waktu 4-5 jam, cukup melelahkan. Tapi sejak bus berangkat Nona terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di Yogyakarta, cowok-cowoknya yang masih saja datang dan pergi, dan obsesinya untuk menembus Universitas Gajah Mada. Aku pun menimpali dengan cerita-cerita kuliahku dan teman-temanku.Padahal biasanya aku selalu tidur saat naik bus malam, tapi malam itu aku memuaskan diri untuk berbincang-bincang dengannya melepas kerinduanku dan memandangnya dalam-dalam. Setelah 3 jam kami pun mulai kehabisan topik pembicaraan. Nona memalingkan mukanya memandang kegelapan malam di luar jendela saat memergokiku menatapnya. Aku yang gemas mengacak-acak rambutnya dan dia pun berteriak tertahan.
“Kamu sebenarnya sadar ga sih kalo aku paling ga suka di acak-acak rambut?” sahut dia merenggut tapi lagi-lagi aku membalas ucapannya dengan acakan rambut.
“Aduh!” teriakku ketika sebuah cubitan mendarat di lenganku, dia tertawa tanpa bersuara.
“Btw boleh aku tahu kenapa kamu memberikan buku agendamu padaku?” Tanya dia tiba-tiba setelah beberapa saat kami terdiam. Sebagian besar penumpang bus sudah terlelap dan lampu bus yang temaram tampaknya tak berhasil menyembunyikan kegugupanku.
“Memang sudah kamu baca?” aku balik bertanya.
“Sudah, ga da yang spesial.” Dia kembali memalingkan wajahnya dari tatapanku.
Selalu begitu. Selalu begitu saat dia tidak berkata yang sejujurnya, selalu tidak berani menatapku.
“Bagaimana kabar Gia?” Tanya dia tanpa menolehkan wajahnya padaku.
“Baik,” jawabku. Gia adalah gadis yang kupacari selama setahun ini, tak lama sebelum keberangkatanku kuliah. Nona tak mengenalnya kecuali dari cerita-ceritaku padanya.
“Kamu mencintainya?” tanya dia memalingkan wajahnya menatapku, dia mencari jawaban jujur dariku.
“Aku ga tahu,” jawabku sambil mengangkat bahu. “Apa yang kita definisikan tentang cinta? Kalau hanya berpacaran jarak jauh dan saling setia, berarti jawabanku iya. Tapi kalau apapun kulakukan demi dia, aku jawab tidak.”
“Maksudmu?”
“Ya kalau bagimu cinta itu melakukan pengorbanan, ada wanita lain yang lebih dari dia yang membuatku melakukan apa saja,” jawabku jujur menatap wajahnya.
“Kalau begitu kamu putusin dia,” sahutnya mantap.
Aku terlonjak kaget. Selama ini kami bersahabat tak pernah ada yang ikut campur dalam masalah pacaran masing-masing, apalagi sampai menyuruh putus.
“Kamu putusin dia dan jadiin aku pacarmu...” lanjutnya pelan sambil menundukkan wajahnya.
Aku tak menduganya.
Tadinya aku sudah pasrah saja akan kehilangan dia setelah lancang mengkhianati persahabatan kami dengan mempunyai peraaan yang berbeda dari yang selama ini kami komitmenkan bersama. Aku bahkan telah mempersiapkan diri untuk menikmati memandang wajahnya malam ini untuk terakhir kalinya dan menangisinya di esok hari. Tapi apa yang telah dia katakan sesaat tadi?
“Hellooo.. any body at there?” tiba-tiba telapak tangannya mengusap mukaku cepat menyadarkanku.
Tawanya meledak saat aku terkejut atas tindakannya. Kembali aku mengacak-acak rambutnya membalas keisengan dia, lalu kami diam sambil menutup mulut dengan tangan menahan tertawa saat beberapa orang yang terganggu tidurnya memelototkan mata pada kami atas keributan yang kami buat.
“Non, kamu ga salah dengan ucapanmu?” tanyaku saat kami sudah mulai tenang.
“Ga, aku serius. Tapi kalo kamu ga bisa ninggalin dia sekarang, aku ga akan memaksamu. Ga papa aku jadi yang kedua sampe kamu bisa ninggalin dia. Aku tau dia anak baik dan ga pantas kamu campakin, tapi aku dah sekian lama memendam semuanya, menikmati perasaanku padamu sendirian, menangisi kehilanganmu yang berkali-kali dalam hidupku, dan sekarang… aku ga mau kehilangan kamu lagi.”
“Aku capek dengan semua ini,” lanjutnya. “Tadi siang saat kamu memberikan agendamu padaku, aku sebenarnya tak berharap banyak kecuali kamu hanya ingin memberi sebuah kenangan di antara kita. Tapi saat aku membuka dan membacanya membacanya…”
“Aku ga pernah menyangka kamu juga punya perasaan yang sama. Kita terjebak pada komitmen anak kecil yang sebenarnya justru menyika kita,” lanjutnya lagi. “Padahal tahukah kamu? Aku telah menyimpan perasaan ini sejak kamu mengajakku membuat komitment brengsek itu, membuatku mundur selangkah karena sikapmu yang begitu mengagungkan persahabatan. Kenapa kita harus membohongi diri sendiri? Sampai kapan?”
Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Yang aku lakukan kemudian adalah merengkuh Nona dalam pelukanku saat dia mulai terisak, memeluknya demikian erat seakan ku tak mampu lagi melepasnya. Meneteskan air mata kebahagiaanku untuk pertama kali.
“I love you, my little sist, I love you so much…” bisikku mengecup keningnya.
“Love you too…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar