Chapter 7: Mengering
by Dii Ann Choco on Monday, June 8, 2009 at 11:22am
Aku terhenyak sendiri setelah kepergian Suman.
Sahabat yang selama ini kupercaya mengkhianatiku.
Ingin rasanya aku menghajarnya, membunuhnya, meremukkannya. Tapi sebagian diriku melarang karena aku yakin pasti ada sesuatu di balik semua ini. Apa yang terjadi? Apa yang salah? Siapa yang menjadi korban? Aku harus segera mencari tahu.
Tapi berkali-kali teleponku tidak terjawab. Ketika aku telepon ke nomor kosannya di Yogyakarta selalu dia tidak ada. Ketika kehabisan akal akhirnya aku mencoba bicara dengan Rinda, tapi aku hanya mendapat jawaban agar aku lebih baik berbicara langsung dengan Nona.
1 hari berlalu tanpa aku bisa menghubungi Nona.
Besoknya kabar ini sampai di telinga teman-temanku di kampus, bukan dari aku tapi dari Suman sendiri yang dengan bangganya cerita ke salah satu sahabatku yang lain. Kedatanganku ke kampus hari itu disambut oleh beberapa temanku yang menampakkan wajah khawatir. Mereka adalah teman-temanku yang lain yang tahu tentangku dan Nona. Segera mereka mendekatiku dan menyarankan untuk menggebuki Suman. Aku menolak usulan mereka karena masih belum jelas permasalahannya. Mereka protes, tapi saat aku jawab dengan logika bahwa ini adalah karena keinginan Nona untuk bersama Suman, kenapa aku harus bela-belain diri, dibodohi oleh perempuan. Mereka pun terdiam.
Tapi hari ini pun Nona tidak bisa aku hubungi.
Aku benar-benar mulai merasakan lelah. Malam itu Amy datang menanyakan kabarku. Dia mendengar tentang Suman dari salah satu temanku. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Keesokan harinya setelah berpuluh-puluh kali aku menelpon, akhirnya aku bisa berbicara dengan Nona.
“Kamu dari mana?” tanyaku pelan saat akhirnya dia yang memegang telepon di ujung sana.
“Maksudmu?” dia balik bertanya.
“Aku telponin terus 3 hari ini ga pernah ada,” jawabku.
“Aku di Parangtritis, sendirian,” sahutnya menjawab pertanyaanku sebelumnya.
Aku sudah menduganya. Mencintai laut tapi juga takut untuk berada di dekatnya.
“Non, apa yang telah kamu lakukan?” tanyaku setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku mendengar nafas panjang Nona, terdengar seperti memikirkan jawaban yang harus diberikan padaku. Sedangkan aku sendiri menunggu tanpa kepastian, mengharap jawaban darinya bahwa yang aku dengar dari Suman hanyalah pengakuan kosong belaka.
“Aku menerima cinta Suman,” jawabnya kemudian.
Aku menyandarkan badanku di dinding dan melorotkan tubuhku sampai terduduk seolah tanpa daya dan tenaga. Jawaban yang sangat aku takutkan.
“Kamu masih disitu?” tanya suara di seberang sana.
“Ya,” sahutku lirih. “Mengapa?” lanjutku bertanya.
“Kamu sudah bersama Amy, aku tak bisa menyakitimu lagi. Suman bercerita banyak tentang kamu dan Amy, bahwa kalian sudah demikian serasinya menghadapi emosional kalian, begitu cocoknya sampai kalian tak pernah saling menyakiti.”
“Sedangkan aku, aku selalu akan menyakitimu, aku akan selalu menjadi beban untukmu, dan aku akan selalu menangisimu,” lanjutnya dengan suara yang terdengar mulai terisak. “Maafkan aku jika kembali menyakitimu. Di diri Suman kutemukan jiwa seperti dirimu yang bisa mengerti aku, yang bisa mengenalku lebih dari pada yang lain, yang bisa memperlakukanku seperti yang kumau, seperti yang selama ini kamu lakukan.”
Ya jelas donk Suman bisa memperlakukanmu seperti yang kamu katakan karena dia telah mengetahui tentangmu dari cerita-ceritaku, dari surat-surat kita, dari semua hal yang telah aku beritahukan padanya. Dia seakan-akan buku ensiklopedia tentangmu, Nona, yang sekarang diterapkannya secara langsung dari membaca buku di dalam dirinya.
Tapi aku tak mengatakan apa-apa, itu hanya terucap di dalam batinku. Aku tak perlu alasan lagi. Sudah cukup aku mendengar pengakuan dari Nona bahwa dia telah memilih Suman walaupun semua ini adalah hasil dari perbuatan liciknya.
“Kembalilah bersama Amy,” ujarnya memecah keheningan kami.
“Bukan hakmu lagi atas hidupku selanjutnya,” jawabku. “Kamu tahu bahwa dia adalah sahabat terbaikku dan dengan kamu bersamanya maka tak akan ada sakit yang lebih sakit lagi dari pada ini, kehilangan cinta sejati dan dikhianati sahabat terbaik.”
“Sampai nafasku berhenti pengkhianatan ini tak akan seikitpun berkurang bagiku,” lanjutku. “Selamat dan semoga berbahagia bersama Suman, walaupun semua yang dia lakukan dan katakan adalah sebuah kebohongan bagiku, tapi aku tak akan mengatakannya, aku akan biarkan kamu tahu sendiri.”
“Dia berbohong atau tidak…”
“Sudah cukup, Non!” potongku. “Aku hanya ingin mendengar dari mulutmu bahwa kamu bersamanya, tak perlu ada excuse lagi. Selamat tinggal!”
Aku membanting gagang telepon. Menelungkupkan kepalaku di antara kedua lututku yang tertekuk. Meneteskan air mata atas pengkhianatan yang terlalu dalam.
Hampa.
o O o
Ulang tahunku tak lama kemudian…
Aku menikmatinya sendirian, membakar seluruh persiapan kejutan-kejutanku untuk Nona beberapa menit setelah tengah malam di hari ulang tahunku. Menikmati kesendirianku di tepi hangatnya api yang membesar karena kertas-kertas dan barang-barang berbahan karet yang semakin habis, semakin musnah seperti perasaanku yang tak lagi mempunyai harapan atas semua ini.
Emosiku saat ini seperti layaknya sebuah danau yang dalam, tenang di permukaan seakan damai tapi banyak gejolak di dalamnya. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Antara marah, sedih, dendam, kecewa atau rasa emosi apapun lainnya yang ada tak lagi memunculkan niatku untuk tertawa renyah. Begitu menggelegak didalam sampai aku tak bisa lagi merasakannya, apalagi mengungkapkannya. Aku membekukan diri di permukaan, tenang seolah tanpa gejolak, atau diam dan sunyi sebeku pegunungan es di kutub selatan.
Berkali-kali aku coba memahami apa yang telah terjadi. Meraba-raba apakah langkah-langkah yang kuambil telah salah jalan atau mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupku. Tapi, aku menghela nafas memikirkannya, apakah dengan mencari apa yang salah atau siapa yang salah akan mengembalikan Nona?
Di sisi lain hatiku mengumpatku, memakiku karena seharusnya aku berjuang melawan keadaan ini. Mencoba mempertahankan atau merebut Nona kembali. Meluruskan kepadanya bahwa semua yang dikatakan Suman adalah salah, adalah bohong, adalah hanya sebuah pikiran picik dan licik untuk mendapatkannya. Atau apapun yang seharusnya aku lakukan untuk mendapatkan Nona kembali, hanya karena dia memang layak, sepadan dengan seluruh nafas yang masih aku hirup.
Kenapa aku tak melakukannya?
Karena cinta hanya cukup untuk cinta. Tak perlu aku bersusah payah untuk mendapatkan Nona kembali jika Nona telah memilih jalannya untuk pergi dariku. Jika memang dia mencintaiku dia tak akan memilih jalan itu.
Siapa yang egois? Hahaha, akhirnya kata itu muncul di otakku. Apakah aku egois dengan tidak berusaha untuk merebut Nona kembali? Ataukah Nona yang egois dengan pergi dariku? Ataukah ini seperti yang dikatakan para ahli jiwa, para psikolog, para psikiater, bahwa terkadang wanita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal hanya untuk mencari perhatian?
Menyakiti perasaanku bukanlah hal untuk mencari perhatian. Oke, dia memang mendapat perhatian dariku, tapi di sisi yang salah, di sisi dalam di lubuk hatiku yang penuh dengan rasa sakit, kecewa, marah, dendam. Perhatian yang selama ini tak pernah aku inginkan untuk mempunyainya atau berbagi untuk siapapun juga, apalagi untuk orang yang kucintai.
Setetes air mataku jatuh saat api mulai menjilat salah satu fotoku bersama Nona. Seakan dengan efek slow motion aku melihat anak api yg kecil melahap dari sudut foto berukuran 4R. Merubah warna kertas foto yang kebiruan sebagai background menjadi kuning, kemudian memutih menampakkan kertas foto aslinya, lalu menghitam, menjadi semakin hitam dan mengerutkan kertas fotonya. Sedikit demi sedikit melahap gambar kami dan memusnahkannya menjadi kobaran api lalu tercampak menjadi abu.
Hanya setetes air mataku yang jatuh.
Aku sudah tak bisa menangis lagi. Air mataku tak bisa lagi keluar karena bekunya hati ini. Terlalu perih.
Sungguh hanya kesendirian ini yang bisa kunikmati bersama malam yang tak berbintang, bahkan bulan pun bersembunyi dariku agar aku dapat menghayatinya.
Dalam kesendirianku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku terhenyak sendiri setelah kepergian Suman.
Sahabat yang selama ini kupercaya mengkhianatiku.
Ingin rasanya aku menghajarnya, membunuhnya, meremukkannya. Tapi sebagian diriku melarang karena aku yakin pasti ada sesuatu di balik semua ini. Apa yang terjadi? Apa yang salah? Siapa yang menjadi korban? Aku harus segera mencari tahu.
Tapi berkali-kali teleponku tidak terjawab. Ketika aku telepon ke nomor kosannya di Yogyakarta selalu dia tidak ada. Ketika kehabisan akal akhirnya aku mencoba bicara dengan Rinda, tapi aku hanya mendapat jawaban agar aku lebih baik berbicara langsung dengan Nona.
1 hari berlalu tanpa aku bisa menghubungi Nona.
Besoknya kabar ini sampai di telinga teman-temanku di kampus, bukan dari aku tapi dari Suman sendiri yang dengan bangganya cerita ke salah satu sahabatku yang lain. Kedatanganku ke kampus hari itu disambut oleh beberapa temanku yang menampakkan wajah khawatir. Mereka adalah teman-temanku yang lain yang tahu tentangku dan Nona. Segera mereka mendekatiku dan menyarankan untuk menggebuki Suman. Aku menolak usulan mereka karena masih belum jelas permasalahannya. Mereka protes, tapi saat aku jawab dengan logika bahwa ini adalah karena keinginan Nona untuk bersama Suman, kenapa aku harus bela-belain diri, dibodohi oleh perempuan. Mereka pun terdiam.
Tapi hari ini pun Nona tidak bisa aku hubungi.
Aku benar-benar mulai merasakan lelah. Malam itu Amy datang menanyakan kabarku. Dia mendengar tentang Suman dari salah satu temanku. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Keesokan harinya setelah berpuluh-puluh kali aku menelpon, akhirnya aku bisa berbicara dengan Nona.
“Kamu dari mana?” tanyaku pelan saat akhirnya dia yang memegang telepon di ujung sana.
“Maksudmu?” dia balik bertanya.
“Aku telponin terus 3 hari ini ga pernah ada,” jawabku.
“Aku di Parangtritis, sendirian,” sahutnya menjawab pertanyaanku sebelumnya.
Aku sudah menduganya. Mencintai laut tapi juga takut untuk berada di dekatnya.
“Non, apa yang telah kamu lakukan?” tanyaku setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku mendengar nafas panjang Nona, terdengar seperti memikirkan jawaban yang harus diberikan padaku. Sedangkan aku sendiri menunggu tanpa kepastian, mengharap jawaban darinya bahwa yang aku dengar dari Suman hanyalah pengakuan kosong belaka.
“Aku menerima cinta Suman,” jawabnya kemudian.
Aku menyandarkan badanku di dinding dan melorotkan tubuhku sampai terduduk seolah tanpa daya dan tenaga. Jawaban yang sangat aku takutkan.
“Kamu masih disitu?” tanya suara di seberang sana.
“Ya,” sahutku lirih. “Mengapa?” lanjutku bertanya.
“Kamu sudah bersama Amy, aku tak bisa menyakitimu lagi. Suman bercerita banyak tentang kamu dan Amy, bahwa kalian sudah demikian serasinya menghadapi emosional kalian, begitu cocoknya sampai kalian tak pernah saling menyakiti.”
“Sedangkan aku, aku selalu akan menyakitimu, aku akan selalu menjadi beban untukmu, dan aku akan selalu menangisimu,” lanjutnya dengan suara yang terdengar mulai terisak. “Maafkan aku jika kembali menyakitimu. Di diri Suman kutemukan jiwa seperti dirimu yang bisa mengerti aku, yang bisa mengenalku lebih dari pada yang lain, yang bisa memperlakukanku seperti yang kumau, seperti yang selama ini kamu lakukan.”
Ya jelas donk Suman bisa memperlakukanmu seperti yang kamu katakan karena dia telah mengetahui tentangmu dari cerita-ceritaku, dari surat-surat kita, dari semua hal yang telah aku beritahukan padanya. Dia seakan-akan buku ensiklopedia tentangmu, Nona, yang sekarang diterapkannya secara langsung dari membaca buku di dalam dirinya.
Tapi aku tak mengatakan apa-apa, itu hanya terucap di dalam batinku. Aku tak perlu alasan lagi. Sudah cukup aku mendengar pengakuan dari Nona bahwa dia telah memilih Suman walaupun semua ini adalah hasil dari perbuatan liciknya.
“Kembalilah bersama Amy,” ujarnya memecah keheningan kami.
“Bukan hakmu lagi atas hidupku selanjutnya,” jawabku. “Kamu tahu bahwa dia adalah sahabat terbaikku dan dengan kamu bersamanya maka tak akan ada sakit yang lebih sakit lagi dari pada ini, kehilangan cinta sejati dan dikhianati sahabat terbaik.”
“Sampai nafasku berhenti pengkhianatan ini tak akan seikitpun berkurang bagiku,” lanjutku. “Selamat dan semoga berbahagia bersama Suman, walaupun semua yang dia lakukan dan katakan adalah sebuah kebohongan bagiku, tapi aku tak akan mengatakannya, aku akan biarkan kamu tahu sendiri.”
“Dia berbohong atau tidak…”
“Sudah cukup, Non!” potongku. “Aku hanya ingin mendengar dari mulutmu bahwa kamu bersamanya, tak perlu ada excuse lagi. Selamat tinggal!”
Aku membanting gagang telepon. Menelungkupkan kepalaku di antara kedua lututku yang tertekuk. Meneteskan air mata atas pengkhianatan yang terlalu dalam.
Hampa.
o O o
Ulang tahunku tak lama kemudian…
Aku menikmatinya sendirian, membakar seluruh persiapan kejutan-kejutanku untuk Nona beberapa menit setelah tengah malam di hari ulang tahunku. Menikmati kesendirianku di tepi hangatnya api yang membesar karena kertas-kertas dan barang-barang berbahan karet yang semakin habis, semakin musnah seperti perasaanku yang tak lagi mempunyai harapan atas semua ini.
Emosiku saat ini seperti layaknya sebuah danau yang dalam, tenang di permukaan seakan damai tapi banyak gejolak di dalamnya. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Antara marah, sedih, dendam, kecewa atau rasa emosi apapun lainnya yang ada tak lagi memunculkan niatku untuk tertawa renyah. Begitu menggelegak didalam sampai aku tak bisa lagi merasakannya, apalagi mengungkapkannya. Aku membekukan diri di permukaan, tenang seolah tanpa gejolak, atau diam dan sunyi sebeku pegunungan es di kutub selatan.
Berkali-kali aku coba memahami apa yang telah terjadi. Meraba-raba apakah langkah-langkah yang kuambil telah salah jalan atau mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupku. Tapi, aku menghela nafas memikirkannya, apakah dengan mencari apa yang salah atau siapa yang salah akan mengembalikan Nona?
Di sisi lain hatiku mengumpatku, memakiku karena seharusnya aku berjuang melawan keadaan ini. Mencoba mempertahankan atau merebut Nona kembali. Meluruskan kepadanya bahwa semua yang dikatakan Suman adalah salah, adalah bohong, adalah hanya sebuah pikiran picik dan licik untuk mendapatkannya. Atau apapun yang seharusnya aku lakukan untuk mendapatkan Nona kembali, hanya karena dia memang layak, sepadan dengan seluruh nafas yang masih aku hirup.
Kenapa aku tak melakukannya?
Karena cinta hanya cukup untuk cinta. Tak perlu aku bersusah payah untuk mendapatkan Nona kembali jika Nona telah memilih jalannya untuk pergi dariku. Jika memang dia mencintaiku dia tak akan memilih jalan itu.
Siapa yang egois? Hahaha, akhirnya kata itu muncul di otakku. Apakah aku egois dengan tidak berusaha untuk merebut Nona kembali? Ataukah Nona yang egois dengan pergi dariku? Ataukah ini seperti yang dikatakan para ahli jiwa, para psikolog, para psikiater, bahwa terkadang wanita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal hanya untuk mencari perhatian?
Menyakiti perasaanku bukanlah hal untuk mencari perhatian. Oke, dia memang mendapat perhatian dariku, tapi di sisi yang salah, di sisi dalam di lubuk hatiku yang penuh dengan rasa sakit, kecewa, marah, dendam. Perhatian yang selama ini tak pernah aku inginkan untuk mempunyainya atau berbagi untuk siapapun juga, apalagi untuk orang yang kucintai.
Setetes air mataku jatuh saat api mulai menjilat salah satu fotoku bersama Nona. Seakan dengan efek slow motion aku melihat anak api yg kecil melahap dari sudut foto berukuran 4R. Merubah warna kertas foto yang kebiruan sebagai background menjadi kuning, kemudian memutih menampakkan kertas foto aslinya, lalu menghitam, menjadi semakin hitam dan mengerutkan kertas fotonya. Sedikit demi sedikit melahap gambar kami dan memusnahkannya menjadi kobaran api lalu tercampak menjadi abu.
Hanya setetes air mataku yang jatuh.
Aku sudah tak bisa menangis lagi. Air mataku tak bisa lagi keluar karena bekunya hati ini. Terlalu perih.
Sungguh hanya kesendirian ini yang bisa kunikmati bersama malam yang tak berbintang, bahkan bulan pun bersembunyi dariku agar aku dapat menghayatinya.
Dalam kesendirianku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar