13 Maret 2011

[Red Rose] Mawar Merah

Chapter 6: Patah
by Dii Ann Choco on Friday, May 15, 2009 at 3:32pm


Kenapa Amy yang harus dikorbankan? Pertanyaan itu muncul berkali-kali dalam benakku, tentu saja setelah Gia yang kukorbankan demi Nona, sekarang aku harus menguatkan hati meminta pengertian Amy. Pengertian? Bukankah ini hanya egoku saja karena mencintai Nona? Bukankah ketika ‘cinta butuh pengorbanan’ itu adalah pengorbanan dari diri sendiri? Bukan mengorbankan orang lain?

Aku tidak akan bisa menjawab semua itu dengan logika. Karena cinta tidak butuh logika, bukan? Yang aku tahu aku sangat mencintai Nona dan membutuhkannya. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkannya, bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun.

Dan sore itu di hari yang sama setelah Nona kembali ke Yogyakarta aku bertemu kembali dengan Amy di kosnya.

“Nona sudah kembali ke Yogya?” Tanya Amy.

“Sudah tadi pagi,” jawabku. “Sepertinya kita harus bicara, My”

“Bicara apa? Tentang kamu akan kembali pada Nona?”

Aku tertegun pada jawabannya.

“Kamu sudah menduganya ya?” Aku balik bertanya dan mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya.

“Tentu saja, kamu masih mencintainya. Aku juga tidak bisa memaksamu. Aku tahu dia datang untuk kembali padamu, kembali pada kehidupan kalian yang dulu,” jawabnya.

“Yup, itu yang dia mau,” responku sambil menghisap rokok yang baru kunyalakan dalam-dalam.

“Dan kamu mau,kan?” Amy mengambil posisi duduk di sebelahku.

“Tidak mungkin aku membohongi perasaanku, My. Aku harap kamu mengerti apa yang kurasakan, apa yang aku inginkan, pada apa yang aku rindukan,” sahutku.

“Aku mengerti kok. Jika memang itu menjadi keputusanmu untuk kembali padanya, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, aku ga rela kamu tersakiti lagi olehnya, melihatmu hancur seperti kemarin.” Kata Amy santai.

“Apa yang terjadi tempo hari bisa saja kita anggap tak pernah terjadi, tapi sejujurnya aku tidak akan menganggap itu tak pernah terjadi loh,” lanjutnya.

“Jadi tak apa kan jika aku kembali pada Nona?” aku memandangnya.

“Kenapa tidak? Kan aku sudah bilang tadi aku akan mendukungmu asal dia tidak menyakitimu, kita sobatan lagi, ok?” jawab dia sambil tersenyum.

“OK!” sahutku lega.

Hubungan yang aneh bukan?

Aku dan Amy kembali berteman seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mauku waktu itu secepatnya berangkat ke Yogyakarta untuk memperbaiki hubunganku dengan Nona, tapi aku punya rencana lain. 3 minggu lagi adalah ulang tahunku, aku membuat rencana untuk kembali padanya waktu ulang tahunku saja. Aku merencanakan beberapa skenario kejutan untuk Nona.

Candle Light Dinner? Ah rasanya terlalu biasa dan romantisnya tidak aku banget.

Beach Moonlighting? Sial ulang tahunku langit sedang tidak ada bulan.

Rose Jungle? Hmmm, kayaknya yang ini seru deh. Aku membayangkan merubah sebuah tempat menjadi hutan mawar, kemudian memintanya kembali di antara bunga-bunga itu.

Aku pun mematangkan konsep kejutanku dengan bersemangat. Berbagai poster-poster yang bergambarkan mawar aku beli dan aku siapkan untuk aku tempelkan nantinya di tempat aku mebuat kejutan.

Beberapa hari kemudian Suman datang ke kosku dan mengatakan kalau dia akan ke Yogyakarta karena ada keperluan di sana. Karena itu adalah pertama kalinya dia ke Yogyakarta, dia minta ijin untuk meminta Nona sebagai guidenya di Yogyakarta. Aku pun mengiyakan permintaannya, bahkan aku sendiri yang menelepon Nona menyampaikan maksudnya. Nona pun setuju untuk menemani Suman. Sekalian aku akan berangkat ke Yogyakarta bertepatan pada ulang tahunku.

Aku pun berpesan pada Suman untuk mengatakan pada Nona bahwa aku akan datang pada ulang tahunku dan meminta Nona untuk bersabar menungguku. Tapi aku juga berpesan agar Suman tidak bercerita tentang rencana kejutanku pada Nona karena aku ingin semuanya sempurna.

1 minggu sebelum ulang tahunku, persiapanku untuk berangkat ke Yogyakarta sudah matang. Aku bahkan telah membelikan sebuah kado yang spesial untuk Nona. Tiba-tiba siang itu Suman datang ke kosku saat aku mengepak persiapan-persiapanku yang akan aku bawa ke Yogyakarta.

“Loh, kok nang kene? Jaremu atene nang Jogja? (Loh kok disini? Katanya mau ke Yogya?)” tanyaku dalam bahasa jawa saat dia datang mengusap peluh karena panasnya hari.

“Yo wes lah, lagek tekko wingi (Ya udahlah, baru juga datang kemarin),” jawab dia mendudukkan pantatnya di depan pintu kamar kosku mencari angin.

“Oh, terus nang kono kon ketemu Nona kan?(terus disana kamu bertemu dengan Nona kan?),” tanyaku lagi dari dalam kamar.

“Ho-oh, kan aku dadian wingi kare dhe’e (kan aku jadian maren ma dia?”, jawab dia sambil tertawa, tangannya membuka bungkusan rokok baru.

Aku menghentikan aktivitasku mendengar jawaban dia.

“Maksudmu?” selidikku menatapnya tak percaya.

“Yo ngono, awakmu kan ga gellem balik yo aku tembak gelem karo aku (ya gitu, kamu kan ga mau balik jadi aku tembak tembak dianya mau ma aku)”, sahutnya sambil menghidupkan rokok.

Jantungku serasa berhenti.

Gigiku gemeretak menahan marah.

Tanganku mengepal.

“Saiki kon moleh yo sak durunge aku ngantemi awakmu, moleh lan ojok pernah wani mbalik rene nek sik pengen urip (sekarang lebih baik kamu pulang sebelum aku memukulimu, pulang dan jangan pernah kembali kesini jika masih ingin hidup),” ujarku pelan menahan emosi.

Suman menghisap rokoknya memandangku.

Darahku mendidih hebat.

“BRAKKKKK!!!” Aku meninju lemari pakaian di depanku sampai pecah.

Suman beranjak keluar dari kosku.

“Aaaaaaaaarrrrggggghhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!”

Aku berteriak histeris.

Sahabatku.

Mengkhianatiku.
---------------------------------------------------------------------------------------------
To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar