Chapter 8: From the Rose
by Dii Ann Choco on Thursday, July 16, 2009 at 1:21pm
Sungguh aku tak dapat menceritakan ulang bagaimana perasaanku. Setelah aku mengerahkan seluruh tekadku dan menghilangkan rasa maluku, tak mengindahkan rasa capekku menempuh perjalanan selama hampir 14 jam, tak menghiraukan pening di kepalaku karena demam yang telah aku derita beberapa hari, aku tetap berangkat menjemput pangeranku. Tapi saat aku sampai ternyata dia telah bersamanya.
Aku sungguh benar-benar tak mengerti padanya. Dia bilang mencintaiku teramat sangat, melebihi apapun, tapi aku dan dia baru saja putus, belum 2 bulan, dan dia telah bersama yang lain, sungguh menjengkelkan! Sedalam inikah cintanya padaku? Sekian lama kami saling mengenal melebihi separuh umur kami dan menyadari betapa sebenarnya kami telah saling jatuh cinta ternyata tak menjamin kedalaman cinta itu sendiri. Belum 2 bulan! 39 hari tepatnya, bahkan orang meninggal saja belum selesai ditahlilkan. Hanya sedalam itukah...
Aku tetap berusaha tegar di depannya walaupun hatiku teriris dan tercabik-cabik. Segala omongan dan ucapan-ucapan yang dijadikan alasannya bersamanya hanya melewati telingaku dan keluar lagi dari telingaku yang lain. Otakku serasa mati rasa tak dapat menelaah lagi kata-katanya setelah dia mengatakan tak bisa kembali padaku. Dia harus menyelesaikan hubungan dia dengan wanita itu dulu baru akan kembali padaku.
Memangnya dia kira aku apa? Manusia batu yang tak punya perasaan melihatnya bersamanya? Jika dia memang mencintaiku kenapa tidak dia akhiri saat ini saja dan kembali padaku? Jika aku memang segalanya kenapa dia tidak langsung merengkuhku dan tak melepasku kembali?
Seumur hidup baru kali ini aku bersujud di hadapan lelaki memintanya kembali. Hal tidak pernah aku bayangkan sebelimnya, apalagi melakukannya. Bahkan mungkin ini adalah hal yang paling najis bagiku karena egoku yang sedemikian tinggi sebagai wanita. Lelaki mana yang tidak bisa aku dapatkan selama ini? Dan aku telah bertekuk lutut di hadapannya, mengharapkannya kembali dalam pelukanku, menjadi pelindungku seperti yang selama ini dia lakukan. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpanya.
Tapi dia menolakku. Mengatakan padaku agar bersabar demi wanita lain yang jelas-jelas tidak dia cintai. Bila ada yang mengatakan aku sok tahu dengan perasaannya, biarlah kuungkapkan bahwa aku dan dia adalah cermin, aku tahu dia mencintaiku seperti halnya aku melihat diriku sendiri yang masih mencintainya. Aku dan dia adalah belahan jiwa.
But this is the truth, aku kembali ke kota pujaanku dengan tangan hampa, bahkan dengan hati hampa. Tak henti-hentinya air mata ini menetes sepanjang perjalanan kembali selama 14 jam. Tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang aneh dan heran di sekitarku, bertanya-tanya tentangku. Bahkan aku tak menghiraukan lagi seandainya sesuatu yang buruk terjadi menimpaku, semua harapanku sirna.
Tak lama setelah aku sampai di kosanku dia menelponku menanyakan kabarku, aku menjawabnya bahwa aku baik-baik saja. Entah kenapa aku tak mampu meneteskan air mataku di depannya. Apakah karena aku masih mengharapkan dia kembali seperti ucapannya ataukah karena bertekuk lutut di depannya dan di tolak sudah lebih dari cukup sehingga aku tak perlu meneteskan air mataku lagi.
2 minggu kemudian aku mendengar kabar sahabatnya akan datang ke Yogya dan dia memintaku untuk menemani sahabatnya. Aku tak mampu menolaknya, bagaimanapun suaranya masih menjadi oase tersendiri bagiku. Dan beberapa hari kemudian aku menjemput sahabatnya yang bagiku adalah orang yang baru kukenal beberapa saat saja. Suman adalah sahabat terdekatnya di kampus, orang yang paling sering dia ceritakan padaku. Bahkan dia juga mengatakan kalau Suman adalah orang yang paling dia percaya dan paling mengetahui tentang hubunganku dengannya. Mungkin karena itulah aku tidak begitu kaku lagi walaupun mengebal Suman belum lama.
Aku menjemput Suman di stasiun kereta Lempuyangan hampir tengah malam. Karena Suman belum ada tempat menginap aku terpaksa membawanya ke tempat kosku. Aku kos di sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga yang baik padaku. Hanya aku dan 3 sahabatku yang kos disini, jadi ketika ada tamu jauh aku dan sahabat-sahabatku sudah terbiasa untuk mengalah memberikan kamarnya dan mengungsi ke kamar lain. Malam itu mau tak mau aku harus merelakan kamarku untuk Suman dan mengungsi ke kamar Rinda, tak apalah asal aku mendengar kabar tentangnya.
Suman adalah orang yang ceria. Canda tawanya terkadang sanggup membuatku melupakan kepedihan hatiku. Selama 2 jam pertama kami hanya tertawa bersama teman-teman kosku yang lain. Menjelang dini hari kantukku belum juga datang sementara teman-temanku satu persatu meninggalkanku bersama Suman di lobby atas di depan kamar kami. Aku memang tinggal di lantai 2 yang mempunya teras kecil menjorok ke luar yang kami sebut ‘lobby’. Dan malam itu aku dan Suman berdua menikmati bintang-bintang yang bertaburan di langit puncak Kaliurang.
“Bagaimana kabar dia?” tanyaku saat aku dan Suman hanya berdua.
“Siapa?” jawabnya sambil kembali menghidupkan rokok yang entah untuk keberapa kalinya, asbak yang kusediakan untuknya sudah mulai penuh.
“Ya siapa lagi dodol,” sahutku cepat menatap Suman.
Dia menjawab dengan cengirannya yang menampakkan gigi-gigi besarnya.
“Ya gimana ya,” jawabnya, “aku bingung mengatakannya padamu,” lanjutnya.
“Memang kenapa?” selidikku.
“Mungkin memang lebih baik jika aku mengatakan yag sejujurnya tentang dia padamu, tapi aku tak tahu apakah kamu mampu untuk menerimanya,” jawabnya lagi.
“Jujur saja padaku,” kataku sambil bergerak menegakkan badanku, “mungkin akan lebih baik jika kamu jujur, toh suatu saat nanti aku akan mengetahuinya.”
Tapi sebenarnya di dalam hatiku aku ingin teriak, ada apakah dibalik semua ini?
“Jujur saja aku bingung padamu Non, apa yang diharapkan dari lelaki plin paln sepertinya,” dia menghisap rokoknya dalam-dalam. “Dia memang sahabatku, tapi aku tak tega melihatmu dipermainkan seperti ini.”
Aku terhenyak mendengar kata-katanya.
“Kalau dia memang mencintaimu, kenapa dia tidak meninggalkan Amy saat itu juga?” lanjutnya. “Mengapa harus kamu yang bersabar menunggunya padahal kamu telah bela-belain waktu dan tenagamu untuk memintanya kembali?”
Tak terasa air mataku mulai menetes. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah mau aku hiraukan di hatiku kini terucap dari mulut sahabatnya.
“Sekarang dia memintamu untuk menunggunya agar dia bisa memutuskan hubungan dengan Amy, untuk apa? Apakah untuk membuktikan bahwa dia laki-laki yang bijak yang tak mau menyakiti orang lain? Apakah dengan itu kamu tidak tersakiti?”
Kata-kata Suman semakin mengiris dadaku.
“Sebenarnya... bagaimana kabar dia dengan wanita itu?” tanyaku terbata sambil menghapus air mata yang semakin deras.
“Dia masih bersamanya,” jawab Suman pelan.
Tangisku meledak.
Aku benar-benar hancur luluh lantak mendengarnya. Tubuhku merosot jatuh dari atas kursi terisak-isak memeluk pahaku. Jika sahabat terdekatnya mengatakan ini maka pada siapa lagi aku harus percaya? Jika manusia yang paling dia percaya mengatkan hal yang paling menyakitkan maka bagaimana lagi aku akan menghadapinya? Aku benar-benar luluh lantak.
Aku rasakan sepasang tangan merengkuhku dan aku pun menangis di dada Suman. Sepasang tangan itu membelai rambutku dan menghibur kesedihanku yang kini tiada taranya. Baju di dadanya semakin basah oleh air mataku dan Suman memelukku semakin erat. Aku tak mampu berkata-kata lagi...
Setelah beberapa saat ketika air mataku jauh berkurang Suman melepas pelukanku dan mendudukkan aku di bangku kosong di lobby itu. Dia mengambil tempat di sebelahku dan merangkulku hangat.
“Setahuku kamu adalah wanita tegar, kenapa harus selalu menangis? Hadapi kenyataan maka itu akan membuatmu tegar. Aku akan disini selama kamu membutuhkanku, sampai air matamu tak menetes lagi dan senyummu kembali merekah.”
Gombal, tapi aku mungkin membutuhkan kata-kata itu saat ini. Seseorang yang akan melindungiku, kenapa tidak?
Akhirnya sejak hari itu aku menerima Suman menjadi pelindungku. Selama 4 hari dia benar-benar berusaha membuatku tertawa kembali. Walaupun terkadang otakku belum lepas darinya, aku berusaha menyenangkan hati Suman. Aku kuatkan hati untuk menerimanya walaupun hati kecilku menolak. Ya sudahlah, yang aku butuhkan saat ini adalah pelindung hati yang bisa mengembalikan keceriaan hatiku yang telah hilang selama 2 bulan ini.
Face the truth, Girl!!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar